Kamis, 06 Juni 2013

Aqiqah Setelah Hari Ketujuh



بسم الله الرحمن الحيم
Segala puji bagi Alloh, shalawat serta salam semoga tercurah bagi Rasululloh dan segenap keluarga, shahabat serta seluruh ahlisunnah waljamaaah hingga akhir zaman.Amin.
Para fuqoha berbeda pandangan dalam masalah melaksanakan aqiqah setelah hari ketujuh kepada tiga pendapat :
1.Pendapat pertama ;
 Hukum :Tidak boleh menyembelih aqiqah setelah lewat hari ketujuh.
Ulama : ini yang masyhur dari madzhab Imam Malik, dan ini adalah pendapat yang dipilih Al amir Ashon’any dan Almubarkafury dan penulis Aunulma’bud[1].
Dalil : hadits-hadits yang menyatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh yang mengandung mafhum mukholafah bahwa tidak boleh setelah hari itu.
Nash ulama :   Berkata Almubarkafury : yang dhohir bahwa aqiqah telah ditentukan waktunya pada hari ketujuh, maka pendapat  Malik lah yang tampak (rajih), wallohu Ta’ala A’lam, adapun riwayat hari ketujuh yang kedua ( ke 14 ) dan ketujuh yang ketiga ( ke 21 ),maka adalah riwayat yang dhoif[2].
2.Pendapat Kedua :
Hukum : boleh menyembelih aqiqah pada hari ketujuh yang kedua ( 14 ) dan hari kelipatan tujuh yang ketiga ( 21 ).
Ulama : dinukil dari Aisyah ra dan Ishaq dan ini adalah satu pendapat dalam Madzhab Syafi’y dan satu riwayat ibnu Habib dari Imam Malik.Adapun AlHafidh Ibnu AbdilBarr maka beliau menguatkan bahwa hanya diperbolehkan pada hari ketujuh dan ketujuh yang kedua ( 14 ), sebagaimana diriwayatkan Ibnu Wahb dari Malik[3].Dan pendapat kedua ini juga satu riwayat dari Imam Ahmad.
Nash ulama : berkata shalih bin Ahmad ; ayahku berkata tentang aqiqah bahwa itu dilakukan pada hari ketujuh jika tidak bisa maka pada hari keempatbelas,jika tidak bisa maka pada hari keduapuluhsatu[4].
Berkata Imam Tirmidzy setelah membawakan hadits Samuroh : ( Pendapat ) inilah yang diamalkan para ulama dimana mereka menyukai penyembelihan aqiqah anak dilakukan pada hari ketujuh, jika tidak bisa maka pada hari keempatbelas, dan jika tidak bisa maka pada hari keduapuluhsatu[5].
Berkata Atho’; jika mereka tidak dapat melaksanakan aqiqah pada hari ketujuh maka aku suka jika diakhirkan ke hari kelipatan tujuh yang lain.
Berkata Ibnu Wahb dari Malikiyah ; tidak mengapa dilakukan aqiqah pada hari ( kelipatan ) tujuh yang ketiga[6].
Dalil mereka : hadits diriwayatkan oleh AlBaihaqy dengan sanadnya ;
عن إسماعيل بن مسلم عن قتادة عن عبدالله ابن بريدة عن أبيه عن النبي e قال :( العقيقة تذبح لسبع ولأربع عشرة ولإحدى وعشرين ) رواه البيهقي
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dari Naby e bersabda ; aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh atau keempatbelas atau keduapuluhsatu ( HR.Baihaqy )[7].
Alhafidh Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa Thabrany mengeluarkan hadits ini dari riwayat Ismail bin Muslim dari Abdullah bin Buraidah, namun Ismail dhoif dan bersendiri sebagaimana disebutkan oleh Thabrany[8].Maka hadits ini dhoif sebagaimana dikatakan  Syaikh Albany[9].Akan tetapi hadits ini juga datang secara mauquf dari Aisyah ra sebagaimana diriwayatkan AlHakim dalam Mustadrok dengan sanadnya ;
عن عطاء عن أم كرز وأبي كرز قالا :( نذرت امرأة من آل عبد الرحمن بن أبي بكر إن ولدت امرأة عبد الرحمن نحرت جزوراً . فقالت عائشة رضي الله عنها : لا بل السنة أفضل عن الغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة تقطع جُدولاً ولا يكسر لها عظم فيأكل ويطعم ويتصدق وليكن ذلك يوم السابع فإن لم يكن ففي أربعة عشر فإن لم يكن ففي إحدى وعشرين ) وقال الحاكم : صحيح الإسناد ووافقه الذهبي (445) .
Dari Atho’ dari Umm Kurz dan Aby Kurz keduanya berkata ; seorang perempuan dari keluarga Abdurrahman bin Abu bakr ra bernadzar bahwa jika istri Abdurrahman melahirkan ( dengan selamat ) ia akan menyambelih unta.Maka  Aisyah ra berkata ; bukan, tetapi sunnahnya yang afdhol untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing, dipotong-potong  namun tidak dipecahkan tulangnya,dimakan dan di sedekahkan, dan hendaknya dilakukan pada hari ketujuh ,jika tidak bisa maka pada hari keempatbelas dan jika tidak bisa maka pada hari keduapuluhsatu.( HR.Alhakim, beliau berkata sanadnya shahih dan disepakati oleh Dzahaby )[10].
Berkata syaikh Albany ra ; semua perawinya tsiqat lagi dikenal karena seluruhnya adalah perawi Imam Muslim selain Ibrahim bin Abdullah ,dia adalah Asa’dy Annaysabury dan dia shaduq sebagaimana disebutkan oleh Dzahaby dalm Al Mizan, dan selain Abu Abdullah Muhammad bin Yaqub Asyaibany, ia adalah hafidh kabir mushannif  dikenal dengan nama ibnul ahzam ,wafat tahun 334 H, biografinya ada dalm Attadzkirah 3/76-77, aku berkata ( Albany ra ); atas dasar ini, dhohir hadits ini adalah shahih namun menurutku ia memiliki dua illah[11].Lalu beliau rahimahullah menyebutkan dua illah tersebut yaitu syudzudz dan inqitho’  dan idraaj.
Hujjah pendapat kedua ini adalah bahwa dalam hadits ini bahwa ini adalah perkiraan dan dhahirnya bahwa Aisyah tidak mungkin berpendapat demikian kecuali atas dasar tauqif ( petunjuk Naby e )[12].
3.Pendapat Ketiga :
Hukum : boleh kapan saja dilakukan aqiqah setelah lewat hari ketujuh dengan memperhatikan jumlah kelipatan pekan.
Ulama : Ini adalah satu riwayat dalam madzhab Hanbaly, dan merupakan pendapat Abu Abdillah Al Busyanjy dari kalangan ulama syafi’iyah.Dan dalam pendapat yang mukhtar atau dipilih menurut madzhab Syafi’iy boleh dilakukan kapan pun sesuai kemampuan walau tanpa memperhatikan kelipatan hari atau pekan.
Nash ulama : Berkata Imam Nawawy ra : madzhab kami adalah bahwa aqiqah tidak luput walau pun ditunda dari hari ketujuh, dan ini adalah pendapat Jumhur ulama di antaranya adalah Aisyah, Atho’ dan Ishaq[13].Disebutkan dalam kifayatul akhyar : dan  pendapat yang terpilih bahwa aqiqah dilakukan sebelum selesai dari nifas, jika telah terlewati maka dilakukan sebelum selesai dari susuan, jika terlewati maka dilakukan sebelum tujuh tahun, jika terlewati maka dilakukan sebelum baligh[14].
   Dan ini adalah riwayat lain dalam Madzhab Hanbaly, berkata Al Mardawy ; perhatian, mafhum dari ucapan ( jika terlewati ), yaitu tidak dilakukan aqiqah pada hari ketujuh.(maka pada hari keempatbelas,jika terlewat maka pada hari keduapuluhsatu)yakni bahwa jumlah pekan tidak lagi diperhatikan setelah itu, maka boleh dilakukan aqiqah setelah itu kapan saja dikehendaki.Ini adalah satu dari dua pendapat .Dan sekaligus pendapat kebanyakan dari ulama Hanabilah dan dishahihkan oleh Ibnu Raziin dalm syarh-nya.Disebutkan dalam Ar Ri’ayah Al Kubra ; jika terlewat maka ( dilakukan ) pada hari keduapuluhsatu atau setelahnya.Disebutkan dalam Al Kafy ; jika ditunda dari hari keduapuluhsatu maka boleh dilakukan setelahnya, karena telah ada sebabnya[15].Berkata Syaikh Ibnu Qudamah Al Maqdisy ; jika disembelih ( aqiqah ) sebelumnya atau sesudahnya maka boleh, karena tujuaannya yaitu mengadakan sembelihan terjadi.Dan jika melewati hari ke duapuluhsatu maka bisa dimungkinkan disukai pada kelipatan pekan, sehingga dilakukan pada hari ke duapuluhdelapan,jika tidak maka pada hari ke tigapuluhlima, atas dasar inilah diqiyaskan kepada hari yang sebelumnya, dan kemungkinan kedua adalah diperbolehkan ( mengadakan aqiqah ) pada setiap kesempatan, karena ia merupakan qodho terhadap sesuatu yang luput.Sehingga tidak dibatasi waktunya, seperti qodho udhhiyah dan selainnya[16].
Ini juga pendapat Ibnu Hazm Adhahiry dan Al Laits bin Saad dan Muhammad bin Sirin[17].
Berkata Al Laits : dilakukan aqiqah untuk anak yang lahir pada hari ketujuh.Maka tidak mengapa dilakukan aqiqah untuknya setelah ( tanggal) itu, dan tidak harus dilakukan aqiqah pada hari kelipatan tujuh[18].
Berkata Ibnu Hazm ; Jika tidak dilakukan aqiqah pada hari ketujuh maka boleh dilakukan setelah itu kapan saja ada kesempatan[19].
Kami berpandangan bahwa pendapat ketiga ini –Wallohu a’lam- adalah yang rajih.Pendapat ini juga merupakan pendapat ;
·         Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ra, beliau berkata[20] ;
الشرح الممتع على زاد المستقنع - (7 / 491)
نقول: إذا كانت الواجبات الشرعية يشترط فيها القدرة فالمستحبات من باب أولى، فالفقير لا نقول له: اذهب واقترض، لكن إذا كان الإنسان لا يجد الآن، إلا أنه في أمل الوجود كموظف ولد له ولد في نصف الشهر، وراتبه على قدر حاجته فهو الآن ليس عنده دراهم، لكن في آخر الشهر سيجد الدراهم، فهل نقول: اقترض ثمن العقيقة واشتر به حتى يأتيك الراتب، أو نقول: انتظر حتى يأتيك الراتب؟ الثاني أحسن؛ لأنه يحصل به إبراء الذمة، ولا يدري الإنسان ربما تحصل فيما بين ولادة المولود وبين حلول الراتب أشياء تستلزم الأموال فيأتيه مرض، أو تنكسر السيارة، وما أشبه ذلك، فالأولى أن يقال: لا تقترض حتى إن رجوت الوفاء عن قرب فانتظر، والعقيقة لا تلزم في اليوم السابع، أو في اليوم الرابع عشر، أو الحادي والعشرين.
Kita katakan ; apabila kewajiban syariat saja disyaratkan padanya kemampuan maka apalagi  yang mustahab.Maka seorang yang faqir kita tidak mengatakan padanya ;pergilah untuk berhutang, namun jika seorang tidak punya ( uang ) saat ini tetapi dia memiliki harapan untuk punya biaya seperti pegawai yang mendapat anak pada pertengahan bulan sedangkan gajinya hanya pas untuk kebutuhan tetapnya dan saat itu tidak memiliki biaya, tetapi akhir bulan ia akan memiliki biaya, apakah kita katakan padanya berhutanglah untuk beraqiqah lalu bayarlah hutang di akhir bulan ataukah kita katakan tunggulah sampai engkau dapat gaji? Yang kedua lebih baik, karena dengan begitu ia tidak punya tanggungan.Dan seorang tidak mengetahui jika mungkin terjadi sesuatu antara kelahiran anaknya dan waktu pelunasan yang membutuhkan biaya mendesak seperti sakit,atau kecelakaan mobil atau yang semisalnya.Maka yang lebih utama dikatakan ; jangan berhutang walaupun engkau punya harapan melunasi dalam waktu dekat, tetapi tunggulah.Dan aqiqah tidak harus dilakukan pada hari ketujuh atau empatbelas atau keduapuluhsatu.
·         Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhohullah, beliau berkata[21] ;
المنتقى من فتاوى الفوزان - (84 / 4)
بالنسبة للعقيقة في حق الحي ما هو أفضل وقت لتأديتها ؟
الأفضل يوم سابعه، هذا هو الأفضل المنصوص عليه، فإن تأخرت عن ذلك فلا بأس بذلك ولا حد لآخر وقتها إلا أن بعض أهل العلم يقول : إذا كبر المولود يفوت وقتها، فلا يرى العقيقة عن الكبير، والجمهور على أنه لا مانع من ذلك حتى ولو كبر .
Adapun masalah aqiqah untuk yang masih hidup, kapankah waktu yang paling afdhol untuk melaksanakannya ? Yang paling afdhol adalah hari ketujuh, inilah yang paling utama yang berdasar dalil.Kalau ditunda dari hari itu maka tidak mengapa.Dan tidak ada batas akhir waktunya, hanya saja sebagian ulama mengatakan; apabila telah dewasa maka sudah lewat waktunya, maka tidak dilakukan aqiqah untuk dewasa.Tetapi Jumhur ulama mengatakan hal itu tidak mengapa walaupun sudah dewasa.
·         Fatwa Lajnah Daimah No 19599, yang berbunyi;
Soal : Telah menjadi kebiasaan di negeri kami bahwa jika seorang ibu hamil memasuki tujuh bulan dibuat kenduri dengan bemacam cara, berbeda satu tempat dengan yang lain.Juga setelah kelahiran dibacakan Maulid Naby e.Apakah pendapat Anda mengenai hal itu? Apakah ada dalil syar’i padanya?
Jawab : Kenduri kehamilan jika telah memasuki waktu tertentu dan setelah lahir dibacakan maulid Naby e , keduanya adalah bid’ah yang tidak memiliki dalil.Yang disyariatkan hanyalah aqiqah untuk bayi yang lahir, dua ekor kambing untuk bayi lelaki dan seekor untuk bayi perempuan, disembelih pada hari ketujuh, diberi nama dan digunduli rambut bayi laki-laki.Karena sabda Naby e ; setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelih pada hari ketujuh, digunduli dan diberi nama[22].Dan karena Naby e pun memerintahkan aqiqah dua ekor kambing untuk anak lelaki dan untuk anak perempuan seekor.Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah pada hari ketujuh maka disembelih aqiqah kapan saja mampu. mampu.wabillahittaufiq.washollallohu ala nabiyyina muhammad wa alihi wasallam.
Al Lajnah Daimah Lilbuhuts Wal Ifta
Bakr Abu Zaid                                    - Anggota
Shalih Al Fauzan                                - Anggota
Abdullah Al Ghudyan                          – Anggota
Abdul aziz Al Syaikh                            - Wakil Ketua
Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baz        - Ketua
Demikian,semoga bermanfaat.Wallohu a’lam bishowab.
Abdul Hakim bin Muhammad bin mukhlish  ghofarollohu lahu wa liwalidiihi
Bintaro, 7 Dzulhijjah 1433/22 Oktober 2012.
 
Sumber:  http://abdulhakimmuhammadmukhlish.blogspot.com

Rabu, 05 Juni 2013

Menguak Misteri ISRA’ MI’RAJ Dalam TINJAUAN FISIKA DAN TAFSIR

Menguak Misteri ISRA’ MI’RAJ Dalam TINJAUAN FISIKA DAN TAFSIR

 
Prolog
Ilmuwan terkemuka Sinka mengatakan: siapa pun yang melayangkan pendangannya ke arah langit pasti akan memejamkan kedua matanya dengan penuh kekaguman dan katakjuban. Sebab ia melihat jutaan bintang yang bersinar terang, mengamati pergerakannya di garis orbitnya, dan beralih memandangi rasi-rasinya. Masing-masing bintang, planet, nebul, dan satelit adalah dunia yang berdiri sendiri, dan jauh lebih besar daripada bumi beserta segala yang ada diantaranya dan yang melingkupinya (Ahmad, 2006:42).
Bayangkan, jika kita sedang menengadah ke langit di malam hari, kita melihat sinar bulan yang begitu indah. Nah, sinar bulan yang kita lihat itu membutuhkan waktu untuk menempuh jarak dari bulan ke bumi sekira 350.000 kilometer. Karena kecepatan cahaya sekitar 300.000 meter per detik, maka cahaya bulan itu membutuhkan waktu lebih dari satu detik untuk sampai ke bumi. Artinya, ketika kita melihat bulan, sebenarnya bulan yang kita lihat itu bukanlah bulan pada saat yang sama. Sebab, bulan membutuhkan waktu selama satu detik untuk mencapai bumi. Paling tidak, bulan yang kita lihat saat ini adalah bulan satu detik yang lalu.
Hal itu juga terjadi ketika kita melihat matahari. Karena jarak Matahari – Bumi yang demikian jauhnya sekitar 150 juta kilometer, maka kecepatan cahaya membutuhkan waktu 8 menit untuk sampai ke bumi. Artinya, jika waktu itu kita melihat matahari, maka matahari yang kita lihat itu sebenarnya bukalah matahari pada saat itu, melainkan matahari 8 menit yang lalu (Mustofa, 2006:71).
Kenaehan dan keterkaguman kita akan semakin bertambah, manakala kita menyaksikan benda-benda langit yang lain, bintang umpamanya. Malah ada bintang yang berjarak sangat jauh dari bumi hingga memakan waktu 8 tahun cahaya dari bumi. Maka jika kita melihat bintang itu, sebenarnya kita sedang menyaksikan bintang yang usianya 8 tahun lalu. Mengagumkan.
Bahkan, dalam abad kekinian, sering juga kita dengar istilah satelit atau sputnik, yaitu kendaraan ruang angkasa yang diluncurkan menuju bulan dan planetnya di dalam kelompok matahari. Persitiwa satelit atau sputnik itu merupakan hasil kecerdasan otak manusia sekaligus merupakan alat terpenting dalam mencapai kemajuan lahir ke arah pengetahuan dan teknologi.
Lalu, pada abad ke-7 atau sekitar 1400 tahun silam, kita juga mendengar suatu peristiwa maha hebat dari tanah Arab. Persitiwa itu jauh lebih mengagumkan dari satelit ataupun sputik dan benda-benda langit lainnya. Peristiwa itu dinamakan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. Muhammad tidak saja menembus ruang angkasa di sekitar bulan, bahkan sudah meluncur ke ufuk yang tertinggi , melalui sistem planet, menerobos ruang langit yang luas, berlanjut terus ke gugusan Bintang Bima Sakti, meningkat kemudian mengarungi Semesta Alam hingga sampai di ruang yang dibatasi oleh ruang yang tak terbatas. Kemudian sampailah Rasulullah Muhammad saw pada Ruang yang Mutlak yang dinamakan “Maha Ruang”. Inilah yang disebut “Dan dia Muhammad di ufuk yang tertinggi” (Mudhary, 1996:21).
Peristiwa luar biasa ini kontan membuat kontroversi di masyarakat. Ada masyarakat yang mencemooh; kebanyakan dari mereka orang kafir. Mereka menggemboskan isu bahwa Muhammad telah gila. Kelompok kedua adalah mereka yang ragu-ragu. Mereka terbawa oleh suasana kontradiksi, mau percaya kok rasanya berita itu tidak masuk akal. Tapi ngga percaya, kan Muhammad tidak pernah berbohong. Kelompok ketiga adalah mereka yang begitu yakin akan ke-Rasulan Muhammad. Perjalanan yang kontroversial ini pun bagi mereka justru meningkatkan kayakinannya bahwa beliau benar-benar utusan Allah.
Lantas bagaimana dengan kita? Termasuk golongan yang mana: tidak yakin, ragu-ragu, atau yakin? Alternatif dari jawaban itu adalah bahwa kita harus yakin dengan di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kannya Muhammad, sekaligus meyakinkan kaum peragu bahwa peristiwa ini pun masuk akal, logis, dan rasional. Sebab, bisa dibuktikan secara empiris dalam ilmu pengetahuan modern
Bukankah manusia adalah salah satu magnum opus-nya Tuhan dengan keistimewaan akalnya. Bukankah telah disinyalir Tuhan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menjelajah seantero jagat raya dengan kekuasannya (QS.Ar Rahman:33). Bahkan, Al Khazin, Al Baidlawi, dan An Nasai (Mudhary, 1996:21), memberi tafsiran bahwa arah kata sulthan atau kekuasanannya ialah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh kecerdasan otak lahir dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan otak batin. Otak lahir disebut juga indera badani atau jasmani, sedangkan otak batin disebut indra rohani. Keduanya dikenal dengan sensus interior dan eksterior.
Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam al Quran dan alam raya dipadukan melalui mukjizat Al Quran dengan mukjizat alam raya yang menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing mengakui dan membenarkan keduanya menjadi pelajaran bagi setiap orang yang mau mendengar. Bahkan Abbas Mahmud Aqqad (dikutip Pasya, 2004:24), memberi penjelasan makna mukjizat ilmiah dalam al Quran dan Hadits secara lebih mendalam yakni terdapat dua macam mukjizat yang harus dibedakan: mukjizat yang harus dicari, dan mukjizat yang memang tidak perlu dicari.
Sayangnya pembedaan antara kedua macam mukjizat tersebut hampir tidak kita temukan pada mereka yang pemikirannya hanya berhenti pada batas penafsiran ilmiah terhadap fenomena alam. Tidak adanya pembedaan tersebut kadang menyebabkan pencampuradukkan anatra mukjizat ilmiah (yang berarti bahwa Al Quran dan Hadits telah terlebih dahulu memberitahukan kita tentang fakta atau fenomena alam sebelum ditemukan oleh ilmu empiris) dan penafsiran Al Quran secara ilmiah (yang berarti mengungkap makna-makan baru ayat Quran atau Hadits sesuai kebenaran teori sains). Dengan kata lain, sains menjadi perangkat untuk menafsirkan Al Quran dan Hadits, seperti halnya ilmu bahasa dan asal usul fikih yang juga menjadi perangkat untuk menafsirkan ayat-ayat Al Quran di bidang ilmu keagamaan. Nah.
Dengan demikian, perjalanan Isra Mi’raj yang menjadi fenomena mukjizat Allah tersebut mampu dikaji secara ilmiah. Pembuktian-pembuktian sains modern telah menampakan sebuah paradigma bahwa perjalanan Muhammad menjumpai Tuhannya dengan menembus batas-batas langit adalah benar. Sebab, perjalanan itu bisa ditafsir ulang dengan sains kekinian, dan dibuktikan secara ilmiah.
 
Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (١
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah diberkahi sekelilingnya oleh Allah agar Kami perhatikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al Isra:1).
Dalam ayat in, Allah sudah menjelaskan skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sehingga dengan berpatokan pada ayat ini, kita bisa memperoleh pemahaman yang sangat memadai tentang mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.
Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11), setidak-tidaknya ada delapan kata kunci yang menjadi catatan penting dan menuntut pemahaman kita menembus batas-batas langit untuk menafsir perjalanan kontroversial ini. Baiklah, jika kita mencoba untuk menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi seperti ini:
Catatan pertama, terdapat pada akata Subhanallah, Maha Suci Allah. Hal ini mengisyaratkan bahwa persitiwa ini sangat luar biasa. Saking spesialnya kejadian ini, Allah sendiri memuji diri-Nya dengan ucapanSubhanallah. Barangkali inilah salah satu bukti bahwa Allah adalah Maha dari segala Maha. Maha tanpa batasan ruang, waktu, bahkan massa. Sehingga lanjut Quraish Shihab (1992:338), peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas ruang dan waktu.
Catatan kedua, adalah dalam kata asraa, yang telah memperjalankan. Ini berarti bahwa perjalanan Isra Mi’raj bukan atas kehendak Rasulullah, melainkan kehendak Allah. Dengan kata lain, kita juga memperoleh ‘bocoran’ bahwa Rasul tidak akan sanggup melakukan perjalanan itu atas kehendaknya sendiri. Saking dahsyatnya perjalanan ini, jangankan manusia biasa, Rasul sekali pun tidak akan bisa tanpa diperjalankan oleh Allah.
Oleh karena itu lanjut Agus (2006:15), Allah lantas mengutus malaikat Jibril untuk membawa Nabi melanglang ‘ruang’ dan ‘waktu’ didalam alam semesta ciptaan Allah. Mengapa Jibril? Sebab Jibril merupakan makhluk dari langit ke tujuh yang berbadan cahaya. Dengan badan cahayanya itu, Jibril bisa membawa Rasulullah melintasi dimensi-dimensi yang tak kasat mata.
Pembuktian menurut ilmu Fisika lanjut Mudhary (1996;28), bahwa eter menjadi zat pembawa sekaligus pelantara daya elektromagnetik. Eter adalah udara yang ringan sekali, lebih ringan dari udara yang dihirup oleh manusia: O2. Dalam bahasa Arab disebut dengan “Itsir”. Jika eter bergetar, niscaya membutuhkan pula zat pembawa yang lebih halus lagi dari eter itu sendiri, agar getaran eter itu bisa tersebar ke mana-mana.
Sedangkan menurut Ilmu Metafisika, Rasul naik ke ruang angkasa melakukan perjalanan Mi’rajnya tentu membutuhkan zat pembawa yang lebih halus dari jiwa atau rohaninya. Oleh karena itu, makhluk hidup yang memiliki dua jasad: jasmani dan rohani, maka diperlukan zat pembawa yang lebih halus dari rohani itu sendiri dan mampu mengangkat jasmani Rasul sekaligus. Dan ternyata makhluk yang sangat halus itu bernama Jibril.
Selain Jibril, perjalanan super istimewa itu disertai juga oleh kendaraan spesial yang didesain Allah dengan sangat spesial bernama Buraq. Ia adalah makhluk berbadan cahaya yang berasal dari alam malakut yang dijadikan tunggangan selama perjalanan tersebut. Buraq berasal dari kata Barqum yang berarti kilat. Maka, ketika menunggang Buraq itu mereka bertiga melesat dengan melebihi kecepatan cahaya sekitar 300.000 kilometer per detik (Mustofa, 2006:15).
Jika seandainya kecepatan Buraq diambil serendah-rendahnya setara dengan perbandingan kecepatan elektris saja: 300.000 kilometer per detik, maka jarak anatara Masjidil Haram di Mekkah dengan Masjidil Aqsha di Palestina yang berjarak 1.500 kilometer, paling tidak memakan waktu 1/200 detik. Padahal, Buraq adalah makhluk hidup yang kecepatannya pun bisa melebihi kecepatan elektris tadi.
Pertanyaannya kemudian, bukankah kecepatan cahaya adalah kecepatan paling tinggi yang telah dihasilkan Fisika Modern? Bukankah kecepatan cahaya telah mendapat legalitas berdasarkan keputusan kongres Internasional tentang Standar Ukuran yang digelar di Paris tahun 1983: bahwa kecepatan cahaya berada dalam vakum sebesar 299.792.458 meter per detik dibulatkan sekira 300.000 kilometer per detik. Dan tentu saja, kecepatan cahaya berlaku sama bagi seluruh gelombang spektrum dan mempersentasikan batas kecepatan dalam alam fisika (Ahmad, 2006:168).
Tentu saja kecepatan setinggi itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang benda. Hanya sesuatu yang sangat ringan saja yang bisa memiliki kecepatan yang bisa melebihi kecepatan cahaya. Bahkan, saking ringannya, maka sesuatu itu harus tidak memiliki massa sama sekali. Yang bisa melakukan kecepatan itu hanya photon saja, yaitu kuantum-kuantum penyusun cahaya. Bahkan, electron sekali pun yang bobotnya hamper nol sekalipun tidak bisa memiliki kecepatan setinggi itu.
Sedangkan manusia sendiri terkonstruksi dari satuan-satuan utama yang sangat kecil dinamakan sel. Jumlahnya sekitar 390 milyar. Sel tubuh ini tidak sama, baik bentuk, besar, maupun fungsinya. Sel-sel ini tidak terpisah satu sama lain, tetapi hidup dalam organisasi yang harmonis (Pasya, 2004:250).
Jika dilihat dari penyusunnya, maka berbagai macam sel itu tersusun dari molekul-molekul. Baik yang sederhana maupun molekul yang kompleks. Mulai dari H2O, sampai pada molekul asam amino atau proteir kompleks lainnya. Dan jika dicermati, maka molekul itu juga tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil disebut atom. Dan atom ini pun tersusun dari partikel-partikel sub atomik seperti: proton, neutron, elektron, dan sebagainya.
Karena manusia memiliki bobot, jangankan untuk dipercepat dengan kecepatan setingkat kecepatan cahaya. Dengan percepatan beberapa kali gravitasi bumi (G) saja, sudah akan mengalami kendala serius, bahkan bisa meninggal dunia.
Dalam ilustrasinya, Agus Mustofa (2006:17) memberi gambaran tentang seorang pilot yang melakukan manuver di angkasa. Ketika ia melakukan gerakan vertikal naik ke langit atau manuver ‘jatuh’ ke bumi misalnya, saat itu badannya akan mengalami tekanan alias beban yang sangat berat bergantung pada besarnya percepatan yang ia lakukan.
Jika pilot bermanuver ke langit dengan percepatan dua kali gravitasi bumi (2G), maka badannya akan mengalami tekanan dua kali lipat dari biasanya. Jika bobot pilot dalam kondisi normal 80 kg misalnya, maka pada saat melakukan manuver bobotnya akan menjadi 160 kg. Bahkan jika percepatannya lebih tinggi lagi, rasa ‘nyuut’ di otak akan semakin besar. Seperti orang yang jatuh bebas ke dalam sebuah sumur yang dalam. Bisa-bisa seseorang akan mengalami ‘hilang kesadaran’. Apalagi manuver pilot dengan kecepatan 5G, pilot yang tidak terlatih bisa-bisa mengalami balck out alias semaput atau pingsan di angkasa.
Jika demikian, bukankah Muhammad juga seorang manusia biasa yang memiliki struktur sama dengan pilot dalam ilustrasi tadi ketika ia melakukan perjalanan Isra Mi’raj tersebut? Lalu bagaimana jasmani Muhammad mampu menembus lapisan langit dengan bantuan kecepatan cahaya ? Apakah Muhammad di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kan dengan jasmani dan rohaninya sekaligus? Nah.
Salah satu ‘skenario rekonstruksi’ untuk mengatasi problem ini adalah teori Annihilasi. Teori ini mengatakan bahwa setiap materi (zat) memiliki anti materi. Dan jika materi dipertemukan atau direaksikan dengan anti materinya, maka kedua partikel tersebut bakal lenyap berubah menjadi seberkas cahaya atau sinar gama (Mustofa, 2006:20).
Hal ini telah dibuktikan di laboratorium nuklir masih dalam buku yang sama (2006:20), bahwa jika ada partikel proton dipertemukan dengan antiproton, atau elektron dengan positron sebagai antielektronnya, maka kedua pasangan partikel tersebut akan lenyap dan memunculkan dua buah sinar gama, dengan energi masing-masing 0,11 MeV untuk pasangan elektron dan 938 MeVuntuk pasangan partikel proton.
Sebaliknya, jika ada seberkas sinar Gama yang memiliki energi sebesar itu dilewatkan medan inti atom, maka tiba-tiba sinar tersebut lenyap berubah menjadi dua buah pasangan partikel seperti di atas. Hal ini menunjukan bahwa materi memang bisa berubah menjadi cahaya dengan cara tertentu, yang disebut sebagai reaksi Annihilasi.
Nah, proses pengubahan materi menjadi cahaya terjadi sesaat sebelum perjalanan Isra Mi’raj dimulai. Kejadian ini ketika Rasul disucikan oleh Jibril di dekat sumur zam-zam. Bisa dikatakan jika proses ini adalah proses operasi hati Muhammad dengan air zam-zam.
Kenapa operasi hati? Bukan otak atau jantung misalnya? Ya, sebab hati adalah pangkal dari seluruh aktifitas badani. Bahkan Rasul mengatakan bahwa hati adalah pangkal dari segala aktifitas badani. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh aktifitas badannya. Begitu juga sebaliknya jika buruk hatinya, maka buruk juga segala aktifitas badaniahnya.
Bahkan, resonansi dari hati yang baik itulah kelembutan akan muncul. Bagaikan buluh perindu yang akan menghasilkan suara merdu ketika ditiup. Kenapa? Karena hati yang lembut bagaikan sebuah tabung resonansi yang bagus. Getarannya menghasilkan frekuensi yang semakin lama semakin tinggi. Semakin lembut hati seseorang, semakin tinggi frekuensinya. Pada frekuensi 10 pangkat 8, maka akan menghasilkan gelombang radio. Dan jika frekuensinya lebih tinggi misal 10 pangkat 14, maka akan menghasilkan gelombang cahaya (Mustofa, 2008:153).
Itulah agaknya yang terjadi pada diri Rasulullah saat ‘dioperasi’ oleh malaikat Jibril di dekat sumur zam-zam. Jibril melakukan manipulasi terhadap sistem energi menjadi badan cahaya. Dengan kesiapan ini, Muhammad siap untukdibawa melalui kawalan Jibril dengan mengendarai Buraq menembus batas langit hingga akhirnya berjumpa dengan Sang Pemilik Cahaya Abadi.
Catatan ketiga, terdapat dalam kata ‘abdihi, Hamba-Nya. Hal ini berarti bahwa tidak semua orang secara sembarangan mampu melakukan perjalanan Isra Mi’raj. Perjalanan fantastis yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang sudah mencapai tingkatan ‘abdihi, hamba-Nya. Atau dalam istilah Quraish Shihab sebagai insan kamil.
Catatan keempat, dalam kata laila, malam hari. Perjalanan spesial ini dilakukan pada malam hari dan bukan siang hari. Kenapa? Inilah dia bukti kebesaran Tuhan Sang Maha Gagah itu. Ia mengendalikan perjalanana Isra Mi’raj dengan apik dan sangat canggih. Apalagi alasan logis mengenai hal itu, bahwa pada siang hari radiasi sinar matahari demikian kuatnya, sehingga bisa membahayakan badan Nabi Muhammad yang sebenarnya memang bukan badan cahaya. Badan nabi yang sesungguhnya tentu saja adalah materi. Perubahan menjadi badan cahaya itu bersifat sementara saja, sesuai kebutuhan untuk melakukan perjalanan bersama Jibril. Dengan melakukannya pada malam hari, maka Allah telah menghindarkan Nabi dari interferensi gelombang yang bakal membahayakan badannya. Suasana malam memberikan kondisi yang baik buat perjalanan itu (Mustofa, 2006:25).
Sebagai gambaran sederhana, ketika di malam hari kita menyalakan radio, maka gelombang yang kita tangkap akan jernih dan lebih mudah dari siang hari. Sebab gelombang radio tersebut tidak mengalami gangguan terlalu besar yang saling bersinggungan dengan gelombang lainnya. Begitulah gambaran sederhananya, sebab waktu malam hari adalah waktu yang paling kondusif untuk perjalanan super spesial demi kelancaran perjalanan ini.
Catatan kelima, terdapat dalam kata minal Masjidil haram ilal masjidil Aqsha, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Perjalanan ini dimulai dari mesjid ke mesjid, sebab mesjid adalah bangunan yang memiliki energi positif. Disanalah orang-orang berusaha untuk menyucikan diri, mendekat, bahkan merapat kepada Tuhannya. Masing-masing mesjid tersebut ibarat tabung energi positif bagi perjalanan Nabi.
Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha dijadikan sebagai terminal pemberangkatan dan kedatangan. Hal ini mirip dengan tabung transmitter dan recieveri, yang dipergunakan dalam proses perubahan badan Nabi Muhammad dari materi menjadi cahaya jauh lebih mudah. Apalagi proses itu melalui ‘operasi’ lewat pelantara Jibril yang memang makhluk cahaya. Maka semuanya berjalan dengan lancar sesuai kehendak Allah. Dia-lah yang berkehendak, sedang Jibril yang melaksanakannya (Mustofa, 2006:28).
Catatan keenam, yakni dalam kata baaraknaa haulahu, Kami berkahi sekelilingnya. Perjalanan ini adalah perjalanan yang tak lazim. Oleh karena itu Allah mempersiapkan semua fasilitas dengan keberkahan untuk menjaga kelancaran perjalanan sekali dalam sepanjang sejarah manusia.
Nah, disinilah pentingnya Allah menjaga lingkungan sekitar perjalanan Isra Mi’raj agar tidak terjadi hal-hal yang merusak. Sebab, jika badan Rasul tiba-tiba berubah menjadi ‘badan materi’ lagi saat melakukan perjalanan berkecepatan tinggi itu, maka badannya bisa terurai menjadi partikel-partikel kecil sub atomik, tidak beraturan lagi. Untuk itulah, keberkahan itu selalu ada; di setiap tempat di setiap keadaan, bahkan tak mengenal tempat, waktu, dan keadaan sekalipun.
Catatan ketujuh, terdapat dalam kata linuriyahu min ayaayaatina, tanda-tanda kebesaran Allah. Ya, tepat sekali Isra Mi’raj adalah salah satu tanda kebesaran Allah yang Maha Hebat. Dalam perjalanan itu Rasul menyaksikan pemandangan yang tidak pernah beliau saksikan sebelumnya. Terutama ketika melintasi dimensi-dimensi langit yang lebih tinggi pada saat Mi’raj ke langit ke tujuh. Tanda kebesaran dan keagungan Allah ini terhampar di jagat raya. Dan dengan tanda-tanda itu, seseorang mukmin bisa melakukan ‘dzikir sekaligus pikir’ sehingga menghasilkan kedekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Dan kata kunci yang terakhir adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
Penjelasan Teori Eisntein (E= m.c2)
Relativitas, adalah teori yang saat ini menjadi pusat ilmu pengetahuan. Teori ini terdiri atas Relativitas Khusus dan Umum. Dua teori ini pun memiliki sejarah yang berbeda.
Relativitas Khusus diterima dalam beberapa tahun setelah Albert Einstein mengumumkannya. Dan ini terjadi di tengah derasnya peristiwa-peristiwa ilmiah, dan karena ini menjawab pertanyaan yang membingungkan banyak ilmuwan. Teori ini juga memiliki kegunaan dalam bidang-bidang utama riset yang dilakukan saat itu, seperti fisika nuklir dan mekanika kwantum. Saat ini, relativitas khusus menjadi alat sehari-hari bagi para ahli fisika yang meneliti susunan materi dan gaya yang menyatukannya.
Relativitas Umum berlaku dalam skala yang jauh lebih besar, pada bintang-bintang, galaksi, dan ruang angkasa yang luas. Dibutuhkan waktu lebih lama untuk diterima, karena teori ini tampaknya tidak memiliki kegunaan prakltis. Einstein menggunakannya untuk menjelaskan kesederhanaan dan tatanan di balik alam semesta. Teori ini baru dapat diuji tahun 1960-an setelah akselerator partikel raksasa dan perlatan lain ditemukan menjadi lebih kuat.
Relativitas khusus meramalkan bahwa ketika sebuah objek mendekati kecepatan cahaya, maka akan terjadi hal-hal ganjil sebagai berikut:
1. Waktu melambat:
Ini disebut dilatasi waktu. Ini diamati tahun 1941 dalam ekperimen partikel atom berkecepatan tinggi yang disebut muon. Ini juga ditunjukkan tahun 1971, ketika jam yang amat sangat akurat, diterbangkan dengan cepat keliling dunia di atas pesawat terbang jet. Setelah dua hari,jam itu berkurang sepersekian detik dibandingkan dengan jam yang sama di permukaan bumi, karena jam itu bergerak lebih cepat.
2. Objek mengecil.
Objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya, akan mengalami pemendekan sesuai arah geraknya. Kalau roket antariksa bisa bergerak dengan separoh kecepatan cahaya, panjangnya akan sekitar enam per tujuh panjang aslinya di landasan luncur. Efek ini sudah diteliti sejak tahun 1890-an.
3. Massa objek bertambah.
Ini artinya objek akan bertambah berat. Ini sudah diperlihatkan berulang kali dengan eksperimen partikel yang bergerak dengan kecepatan tinggi seperti elektron. Dari ide inilah Eistein mengembangkan rumus terkenalnya E = mc².
Mungkinkah manusia bisa bergerak secepat cahaya? Seiring bertambahnya massa orang tersebut, maka gaya yang dibutuhkan untuk membuatnya bergerak lebih cepat lagi juga terus bertambah. Pada hampir kecepatan cahaya, massa akan begitu besar sampai gaya yang dibutuhkan untuk memberikan dorongan ekstra itu akan sangat besar sampai mustahil. Akibatnya kecepatan cahaya tidak akan benar-benar tercapai.
 
Dalam A Brief History of Time-nya, fisikawan Stephen Hawking dengan merendah mengatakan seluruh model jagat raya kontemporer yang dibangun oleh para fisikawan/astrofisikawan masa kini (termasuk dirinya, Roger Penrose, Bekenstein, Carl Sagan dll) berdasarkan pada asumsi bahwa Relativitas Umum dan Mekanika Kuantum itu benar. Dari statemen ini memang terbuka peluang bahwa mungkin saja baik Relativitas Umum ataupun Mekanika Kuantum itu “tidak benar”.
Namun jika kita merujuk pada fakta-fakta yang ada di jagat raya ini, kita fokuskan ke Relativitas Umum, ada sangat banyak fenomena yang menunjukkan kesahihan teori ini. Tak perlu jauh-jauh melangkah ke lubang hitam alias black hole, fenomena itu merentang mulai dari yang paling sederhana seperti langit malam yang tetap gelap padahal kita tahu ada milyaran bintang yang selalu bersinar di sana (paradoks Olber), presesi perihelion Merkurius (dimana titik perihelion planet ini selalu bergeser dalam tiap revolusinya, yang secara akumulatif mencapai 43 detik busur per abad), pembengkokan lintasan cahaya dan gelombang radar di dekat Matahari seperti ditunjukkan dalam Gerhana Matahari maupun pemuluran waktu tunda gema radar dari oposisi Venus, hingga melimpahnya foton gelombang mikro bersuhu amat rendah (2,725 K) yang tersebar homogen di segenap penjuru jagat raya tanpa terkait dengan kumpulan galaksi maupun bintang-bintang, foton yang kita kenal sebagai cosmic microwave background radiation.
Dengan bekal kesahihan Relativitas Umum ini (dan juga kesahihan Mekanika Kuantum) kita sekarang bisa memperkirakan dengan ketelitian tinggi bagaimana dinamika jagat raya kita sejak ‘bayi’ hingga sekarang.
Relativitas Umum menunjukkan bahwa jagat raya kita ini terdiri dari empat dimensi, dengan tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu (dalam sumbu imajiner) yang saling mempengaruhi sehingga membentuk entitas baru yang disebut ruang-waktu (spacetime), dimana disini tak ada lagi waktu mutlak karena waktu sepenuhnya bergantung kepada ruang, dan sifat ruang-waktu sepenuhnya bergantung kepada distribusi massa yang ada didalamnya. Sehingga sifat ruang-waktu di Bumi misalnya, jelas berbeda dengan ruang-waktu di Matahari ataupun bintang maharaksasa merah Antares tetangga kita, apalagi dengan bintang neutron dalam inti Crab Nebulae.
Hawking menggambarkan ruang-waktu dalam jagat raya kita sebagai melengkung mirip gelembung balon, dengan permukaan balon sebagai ruang-waktu dan disinilah tempat kedudukan galaksi dan bintang-bintang. Seberapa besar dimensi jagat raya? Besarnya ~1025 meter (13,7 milyar tahun cahaya). Dalam tiap meter kubik jagat raya terdapat 400 juta foton namun ‘hanya’ ada 0,4 nukleon (nukleon = proton + neutron, penyusun atom-atom termasuk yang menyusun tubuh manusia). Cahaya, demikian pula foton pada spektrum elektromagnetik lainnya, hanya bisa bergerak pada permukaan gelembung ini meski tetap saja bisa menemukan jarak terpendek untuk menempuh titik-titik yang terpisah jauh (ini lebih mudah dipahami jika kita mempelajari trigonometri segitiga bola).
Namun, Subhanallah, struktur yang luar biasa besarnya ini tidaklah statis. Ia terus mengembang, dan jika diproyeksikan jauh ke masa silam (tepatnya ke 13,7 milyar tahun silam), kita mengetahui saat itu jagat raya hanyalah berbentuk titik berdimensi ~10-35 meter dengan densitas 1096 kg/m3 dan bersuhu 1032 K. Inilah titik singularitas dentuman besar (alias big bang), awal lahirnya sang waktu. Apa isinya? Campuran quark dan lepton, partikel-partikel elementer penyusun nukleon, yang secara kasar bisa disebut “plasma” atau “asap” (bandingkan dengan Q.S. Fushshilat : 11). Dari titik awal ini jagat raya dengan cepat mengembang hingga pada 1 detik pertama saja dimensinya telah 10 tahun cahaya dan quark-quark didalamnya telah mulai membentuk nukleon. Dalam 3 – 20 menit pasca big bang, nukleon-nukleon mulai bereaksi membentuk Detron (inti Deuterium), Helium dan sebagainya sehingga komposisi jagat raya terdiri dari 75 % Hidrogen dan 24 % Helium, yang masih bertahan hingga kini. Namun dibutuhkan waktu 300.000 tahun pasca big bang hingga jagat raya ini benar-benar dingin sehingga proton bisa bergabung dengan elektron membentuk atom Hidrogen, demikian pula detron bergabung dengan elektron membentuk atom Deuterium dan sebagainya, tanpa terpecahkan kembali oleh foton (note : menariknya, coba bandingkan angka 300.000 tahun ini dengan Q.S. al-Ma’aarij : 4 dan Q.S. as-Sajdah : 4  secara bersama-sama).
Tafsir Ayat Isra’ Mi’raj
Ayat Isra’ Mi’raj yang sering kita dengar adalah :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya847 agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
1. Subhana = diartikan Maha Suci. Tetapi yg pas bisa kita pakai arti Maha Penggerak atau Maha Dinamis. Subhana bisa juga berasal dari kata ‘sabaha‘ artinya berenang. Mashdar lainnya adalah Tasbih, yang berarti gerak yang dinamis. Hakekat dari seluruh materi di alam semesta ini adalah bergerak, ber-rotasi dan ber-revolusi. Salah tiga dari materi alam semesta adalah Matahari, Bumi dan Rembulan. Rembulan atau Bulan ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Bumi. Bumi ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Matahari. Matahari ber-rotasi dan ber-revolusi kepada pusat Bimasakti. Dan begitu seterusnya…
Jadi peristiwa Isra’ wal Mi’raj adalah fenomena pergerakan dan sangat dinamis, bukan sekedar aktifitas statis.
2. Asra = memperjalankan. Kata ini bentuk transitif (muta’addiy) dari kata saraa = berjalan. Di sini jelas bahwa Alloh Yang Maha Dinamis yang menentukan gerak dan diamnya, atau berjalan dan berhentinya hamba-Nya yakni Rasulullah SAW.
Jadi peristiwa Isr’a wal Mi’raj merupakan kehendak aktif Alloh SWT.
Berapa jauhnya perjalanan?
Secara manusiawi, jarak tempuh Isra’ adalah :
Mekkah – Palestina, sekitar 1.200 km. Selanjutnya, perjalanan Mi’raj seperti dijelaskan dalam surat An-Najm yang terbagi dalam dua tahap:
 
tahap 1: Gelombang ke Partikel
Ayat 1-11 surat An-Najm, menjelaskan perihal transfer dimensi dari Jibril kepada Rasululloh SAW yakni transfer dimensi cahaya kepada dimensi suara.
tahap 2: Partikel ke Geombang
Selanjutnya ayat ke 12 – 17 surat An-Najm, adalah menjabarkan praktikum Rasululloh SAW untuk melakukan transfer balik dari dimensi suara atau partikel menuju ke dimensi cahaya atau ‘gelombang elektromagnetik’.
Dan perjalanan saat itu tidak mengenal lagi hukum fisika. Dimensi waktu telah terlampuai. Jangkauan Rasululloh SAW seperti dikupas Pak Agus Musthofa dalam buku2nya, pandangan Rasululloh mampu mencakup semua dimensi di bawah layer malaikat.
 
Kalau Mi’raj, maka secara masnusiawi Rasul SAW akan lepas dari Bumi. Dan lebar Bumi sekitar 12.700 km;
Lalu, kita manusia akan membayangkan, Rasul SAW lepas dari Tata Surya kita. Dan lebarnya 9 milyar km.
Berikutnya lepas Tata Surya masih harus lepas dari Galaksi kita yang panjangnya;
Selengkapnya Tour de universe ada di [ Cosmic Distance Scales ]
3. ‘Abdihi = hamba-Nya. Hamba adalah lemah, hamba adalah tidak berdaya. Di sini jelas, bahwa isra’ wal Mi’raj itu bukan kemauan Rasulullah SAW, karena beliau sebagai hamba yang hanya bergantung atas kehendak Alloh SWT dalam melakukan perjalannya.
Jadi dalam Isr’a wal Mi’raj, Rasululloh SAW tidak berjalan sendiri, tetapi di’bantu’ Alloh dalam melakukan perjalanan itu.
4. Lailan = Malam hari. Malam adalah simbol kebalikan dari siang. Dua istilah yang sangat erat dengan konsep waktu. Mengapa harus malam.?
Malam memiliki keheningan, malam menyibakkan kegelapan, yang merupakan arah dari pandangan mata yang tidak pernah akan berujung. Dan perjalanan Isra’ wal Mi’raj adalah perjalanan Rasul SAW yang tidak mampu dijejaki ujung finalnya. Alam semesta nan luas …
5. Masjidil Haram-Masjidil Aqsha = Dua starting point yang diberkahi. Dua lokasi yang dipilih Alloh dengan titik koordinat yang terpisah antara batas utara pergerakan tahunan Matahari. Dua lokasi sebagai kiblat pertama dan terakhir. Dan inilah tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Kalau kita mau berfikir.
Epilog
Begitu dahsyat peristiwa Isra Mi’raj hingga meninggalkan kesan mendalam untuk seluruh umat manusia hingga kini. Namun, dari tafsiran yang telah dipaparkan di atas, sekira dengan obat sebagai penawar penyakit, begitu pun hikmah perjalanan ini sebagai ikhtiar pembangun jiwa-jiwa yang sedang kebingungan, atau malah ‘mati’ dalam kebingungan.
Siapa pun ia jika mengira akal adalah Tuhan yang patut disembah, sains adalah Maha Guru tertinggi yang patut dipuji, maka ia bagai berada dalam dimensi yang terus memenjaranya untuk tidak menemukan kebenaran hakiki. Sebab, Kant pernah berkata (dalam avant propos Capra, 2000:xxii), bahwa ia secara meyakinkan dan sudah membuktikan jika nalar teoritis sama sekali tak mampu menangkap kebenaran metafisika. Dengan kata lain, sains tak bisa membuktikan Tuhan ada, juga tidak bisa membuktikan Tuhan tidak ada. Dengan ini, Kant sebenarnya hendak membatasi ekspansi sains, menyisakan ruang bagi iman.
Banyak tafsiran yang diutarakan para ulama terkait berita kontroversial ini. Namun, perlu menjadi catatan bahwa terlepas dari semua tafsiran: aqidah, sains, bahkan tasawuf sekalipun, ia ‘menggenjot’ penyemangat jiwa. Sebab Muhammad mampu ‘berlari’ menjadi hamba yang Insan Kamil untuk melesat menuju Tuhannya. Ia membuka diri untuk disesuaikan dan direkonstruksi demi menyempurnakan panggilan spesial Tuhannya.
Bukan saja Muhammad yang bisa ‘berlari menuju Tuhannya. Anda, saudara, dan kita semua bisa ‘berlari’ mengejar hakikat kecintaan kepada Tuhan. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju tuhan dengan cara berjalan lanjut Kang Jalal (2008:69). Kita harus ‘berlari’ sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir. ‘Berlari’ dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada yang satu, Allah. Sebab, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Dia akan menyambutnya sambil berlari” (HR. Ahmad dan Thabrani). Jika begitu, bagaimana jika kita menuju-Nya dengan ‘berlari’, seberapa dekatkah Ia kepada hamba-Nya.
Kenyataan ini menuntun kita pada adanya evolusi dari hal yang sifatnya material menuju hal yang immaterial. Membimbing kita untuk Mi’raj atau pendakian menuju tahap demi tahap hingga sampai ke hakikat kecintaan kepada-Nya. Keberadaan hierarki dan proses pendakiannya yang merupakan ajaran tarekat yang dicontohkan Plotinus sebagai tokoh madzhab neoplatonisme (Purwanto, 2008:383). Menurutnya semua berasal dari Yang Satu atau to Hen dan semuanya berhasrat untuk kembali kepada Yang Satu. Manusia dapat melaksanakan pengembalian kepada Yang Satu dengan upaya menempuh tahap demi tahap, hingga akhirnya mampu ‘berlari’ menembus penyatuan dengan Yang Satu, atau dalam istilah Plotinus disebut ekstasis.
Overall, maka bersegeralah ‘berlari’ untuk Mi’raj menuju Tuhan. Sebab Ia telah berfirman: “Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah” (QS.Al dzariyat:50). Mi’raj untuk menembus batas-batas kekotoran sifat manusia, menjemput Cahaya Ke-Tuhanan yang hanya diberikan bagi mereka yang spesial. Mereka yang berhasil menjadi pengikut Muhammad yang tidah hanya mengagumi dalam decak kagum tanpa penghayatan, tetapi penghayatan dalam pengamalan yang ikhlas.
Perjalanan yang ditempuh dari pecinta menuju yang dicintainya, hingga keadaan ini berada dalam vakum penyatuan. Cerminan penyatuan itu tertuang dalam sebuah hadits qudsi: “Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan melakukan ibadah-ibadah nawafil, hingga Aku mencintainya. Kalau Aku telah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya” (HR. Bukhari).
Semoga artikel Menguak Misteri ISRA’ MI’RAJ Dalam TINJAUAN FISIKA DAN TAFSIR bermanfaat bagi Anda.

 sumber: http://m2mexacta.blogspot.com

Rabu, 24 April 2013

Seputar Tahlil

Fiqh Khilafiyah NU-Muhammadiyah: Seputar Tahlil


Oleh: M. Yusuf Amin Nugroho
Dalam bahasa Arab, Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah” yaitu “La ilaha illa Allah” (لااله الا الله). Dalam konteks Indonesia, tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.
Kegiatan tahlil sering juga disebut dengan istilah tahlilan. Tahlilan, sudah menjadi amaliah warga NU sejak dulu hingga sekarang. Sementara kalangan Muhammadiyah tidak membenarkan diselenggarakannya tahlilan.
Bacaan-bacaan doa serta urutan dalam acara tahlil juga sudah tersusun sedemikian rupa, dan dihafal oleh warga NU. Begitu pula tentang bagaimana tradisi pelaksanaannya, di mana keluarga sedang tertimpa musibah kematian (shohibul mushibah) memberikan sedekah makanan bagi tamu yang diundang untuk turut serta mendoakan.

NU menganggap bahwa acara tahlilan tidak bertentangan dengan syariat Islam, melainkan justru sesuai dengan apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah saw. Sementara Muhammadiyah menganggap bahwa acara tahlilan merupakan sesuatu hal yang baru, tidak pernah dikerjakan dan diperintahkan rasulullah (bid’ah).
NU membenarkan bahwa bacaan doa, kiriman pahala dari membaca ayat-ayat al-Qur’an, dan shodaqah, bisa dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal, sementara Muhammadiyah berpendapat bahwa membaca al-Qur’an, dan bacaan lain, serta bersodaqah yang dikirimkan kepada orang yang sudah meninggal pahala tersebut tidak akan sampai.
Perbedaan pendapat seputar tahlil ini terjadi, dikarenakan terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap ayat al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan masalah tersebut. Selain juga karena dalil yang digunakan serta metode pengistimbathan hukumnya yang berbeda. Untuk lebih jelasnya, baiknya langsung kita pahami bersama dasar-dasar penolakan dan penerimaan tahlil dari NU dan Muhammadiyah.
  1. Muhammadiyah
 Sebagaimana sudah dikenal, bahwa ajaran agama Muhammadiyah cenderung ingin memurnikan syariat Islam (tajdid). Islam yang menyebar luas di Indonesia, khususnya di jawa, tidak dipungkiri merupakan perjuangan dari para pendakwah Islam pertama, di antaranya adalah Wali Sanga. Dalam menyebarkan agama Islam, Walisanga menggunakan pendekatan kultural, yang mana tidak membuang keseluruhan tradisi dan budaya Hindu dan Budha, dua ajaran yang menjadi mayoritas pada masa itu, melainkan memasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam tradisi dan kepercayaan Hindu Budha. Salah satu tradisi agama Hindu, yaitu ketika ada orang yang meninggal adalah kembalinya ruh orang yang meninggal itu ke rumahnya pada hari pertama, ketiga, ketujuh, empat puluh, seratus, dan seterusnya. Dari tradisi itulah kemudian muncul tradisi yang kemudian dikenal dengan tahlil.
Sebagaimana sudah pernah dibahas dalam Majalah Suara Muhammadiyah dan dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama II yang diterbitkan Muhammadiyah, tahlilan tidak ada sumbernya dalam ajaran Islam. Tradisi selamatan kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari maupun 1000 hari untuk orang yang meninggal dunia, sesungguhnya merupakan tradisi agama Hindu dan tidak ada sumbernya dari ajaran Islam.
Muhammadiyah menganggap bahwa keberadaan tahlil pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari tradisi tarekat. Ini bisa diketahui dari terdapatnya gerak-gerak tertentu disertai pengaturan nafas untuk melafalkan bacaan tahlil sebagai bagian dari metode mendekatkan diri pada Allah. Dari tradisi tarekat inilah kemudian berkembang model-model tahlil atau tahlilan di kalangan umat Islam Indonesia.
Dalam tanya jawab masalah Agama di Suara Muhammadiyah disebutkan macam-macam tahlil atau tahlilan. Di lingkungan Keraton terdapat tahlil rutin, yaitu tahlil yang diselenggarakan setiap malam Jum'at dan Selasa Legi; tahlil hajatan, yaitu tahlil yang diselenggarakan jika keraton mempunyai hajat-hajat tertentu seperti tahlil pada saat penobatan raja, labuhan, hajat perkawinan, kelahiran dan lainnya. Di masyarakat umum juga berkembang bentuk-bentuk tahlil dan salah satunya adalah tahlil untuk orang yang meninggal dunia.
Muhammadiyah yang notabenenya mengaku masuk dalam kalangan para pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran Islam, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bid'ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.
Esensi pokok tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai perbuatan bid'ah bukan terletak pada membaca kalimat la ilaha illallah, melainkan pada hal pokok yang menyertai tahlil, yaitu;
1.         Mengirimkan bacaan ayat-ayat al-Qur'an kepada jenazah atau hadiah pahala kepada orang yang meninggal,
2.         Bacaan tahlil yang memakai pola tertentu dan dikaitkan dengan peristiwa tertentu.
Berikut akan kami berikan argumentasi penolakan Muhammadiyah terhadap tahlil:
Argumentasi Pertama: Bahwa mengirim hadiah pahala untuk orang yang sudah meninggal dunia tidak ada tuntunannya dari ayat-ayat al-Qur'an maupun hadis Rasul. Muhammadiyah berpendapat bahwa ketika dalam suatu masalah tidak ada tuntunannya, maka yang harus dipegangi adalah sabda Rasulullah saw, yang artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan (agama) yang tidak ada perintahku untuk melakukannya, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Muslim dan Ahmad]
Dalam situs pdmbontang.com memuat sebuah artikel yang berjudul “Meninggalkan Tahlilan, siapa takut?”, sebuah artikel yang bersumber dari MTA-online. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw ketika masih hidup pernah mendapat musibah kematian atas orang yang dicintainya, yaitu Khodijah. Tetapi Nabi saw tidak pernah memperingati kematian istrinya dalam bentuk apapun apalagi dengan ritual tahlilan. Semasa Nabi hidup juga pernah ada banyak sahabatnya dan juga pamannya yang meninggal, di antaranya Hamzah, si singa padang pasir yang meninggal dalam perang Uhud. Beliau juga tidak pernah memperingati kematian pamannya dan para sahabatnya.
Demikian pula setelah Rasulullah saw wafat, tahlilan atau peringatan hari kematian belum ada pada masa khulafaur Rasyidin. Pada masa Abu Bakar tidak pernah memperingati kematian Rasulullah Muhammad saw. Setelah Abu Bakar wafat Umar bin Khaththab sebagai kholifah juga tidak pernah memperingati kematian Rasululah Muhammad saw dan Abu Bakar ra. Singkatnya semua Khulafaur Rasyidin tidak pernah memperingati kematian Rasulullah saw.
Dalil aqli atas sejarah tersebut adalah, kalau Rasulullah saw tidak pernah memperingati kematian, para sahabat semuanya tidak pernah ada yang memperingati kematian, berarti peringatan kematian adalah bukan termasuk ajaran Islam, sebab yang menjadi panutan umat Islam adalah Rasulullah saw dan para sahabatnya, bukan?
Selain itu, berkaitan dalam masalah tahlil, Muhammadiyah menolaknya dengan dasar dari hadist Rasulullah saw, yang artinya
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia telah mati, maka putuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang mendoakannya.” [HR. Muslim]

Berkaitan dengan hadis tersebut, yang juga digunakan oleh Ulama atau kalangan yang membolehkan tahlilan, Muhammadiyah memandang bahwa hadist itu berbicara tentang mendoakan, bukan mengirim pahala doa dan bacaan ayat-ayat Al Qur'an. Mendoakan orang tua yang sudah meninggal yang beragama Islam memang dituntunkan oleh Islam, tetapi mengirim pahala doa dan bacaan, menurut kepercayaan Muhammadiyah, tidak ada tuntunannya sama sekali.
Argumentasi kedua: selain dasar sebagaimana sudah disebutkan, Muhammadiyah juga mendasarkan argumentasinya pada al-Qur’an surat an-Najm ayat 39, ath-Thur 21, al-Baqarah 286, al-An’am 164, yang mana dalam ayat-ayat tersebut diterangkan bahwa manusia hanya akan mendapatkan apa yang telah dikerjakannya sendiri. Berikut adalah petikan ayat-ayatnya:
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (Q.S. an-Najm: 39)
Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. [QS. ath-Thur (52): 21]
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (Q.S. al-Baqarah: 286)
Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." [QS. al-An’am (6): 164]
Dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut, kalangan yang menolak tahlilan mengutip pendapat madzhab Syafii yang dikutip Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya, di sana dikatakan bahwa bacaan qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai, sebagaimana disebutkan dalam dalam al-Qur’an surat an-Najm ayat 39 di atas.
Selain itu, juga dikuatkan dengan pendapat Imam Al Haitami dalam Al Fatawa Al Kubra Al Fiqhiyah yang mengatakan: "Mayit tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya." Sedang dalam Al Um Imam Syafi'i menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberitakan sebagaimana diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri, seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain. (Al Umm juz 7, hal 269).
Dasar selanjutnya adalah, perbuatan Nabi yang tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru (Al Umm, juz I, hal 248). Juga perkataan Imam Nawawi yang mengatakan bahwa penyediaan hidangan makanan oleh keluarga si mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ tidak ada nashnya sama sekali (Al Majmu' Syarah Muhadzab, juz 5 hal 286).
Sebagaimana sudah menjadi keputusan Tarjih Muhammadiyah dalam masalah ini, bahwa ketika ada yang meninggal yang seharusnya membuat makanan adalah tetangga atau kerabat dekat untuk keluarga si mayit. Dasarnya adalah hadis dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata, yang artinya:
Setelah datang berita kematian Ja'far, Rasulullah bersabda: "Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena telah datang kepada mereka sesuatu yang menyusahkan mereka”. (H.R Tirmidzi dengan sanad hasan).
Demikianlah pendapat Muhammadiyah dalam masalah tahlil. Penolakannya terhadap tradisi tahlilan talah terang memiliki dasar. Lalu, bagaimana pendapat NU? Dalil-dalil apa yang digunakan oleh Ulama NU sehingga sampai sekarang masih mempertahankan tahlilan? Mari kita kaji bersama-sama.
  1. Nahdhatul Ulama
Di atas, kita telah tahu pengertian tahlil secara bahasa maupun istilah. Bahwa tahlil, secara bahasa berarti pengucapan kalimat la ilaha illallah. Sedang tahlil secara istilah, sebagaimana ditulis KH M. Irfan Ms, salah seorang tokoh NU, ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengkui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil diitilahkan sebagai rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya tahlil bisa dilakukan sendiri-sendiri, namun kebiasaannya tahlil dilakukan dengan cara berjamaah.
Dalam buku Antologi NU diterangkan, sebelum doa dilakukan, dibacakan terlebih dahulu kalimah-kalimah syahadad, hamdalah, takbir, shalawat, tasbih, beberapa ayat suci al-Qur’an dan tidak ketinggalan hailallah (membaca laa ilaaha illahllaah) secara bersama-sama.
Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak malam pertama orang meninggal sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi apda hari ke -40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya.
Setelah pembacaan doa biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan, seperti mie, beras, gula, the, telur, dan lain-lain. Semua itu diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa dinta yang mendalam baginya.
Dalam menjelaskan masalah tahlil, H.M.Cholil Nafis, tokoh pembesar NU, menjelaskan pula sejarah tahlil, sebelum memberikan dasar-dasar dibolehkannya tahlil. Menurutnya, berkumpulnya orang-orang untuk tahlilan pada mulanya ditradisikan oleh Wali Songo (sembilan pejuang Islam di tanah Jawa). Seperti yang telah kita ketahui, di antara yang paling berjasa menyebarkan ajaran Islam di Indonesia adalah Wali Songo. Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya.
Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian di atas tidak dikenal sebelum Wali Songo.
Warga NU sampai sekarang tetap mempertahankan tahlil, salah satu tradisi yang dimunculkan pertama kali oleh Walisanga. KH Sahal Mahfud, ulama NU dari Jawa Tengah, berpendapat bahwa acara tahlilan yang sudah mentradisi hendaknya terus dilestarikan sebagai salah satu budaya yang bernilai islami dalam rangka melaksanakan ibadah sosial sekaligus meningkatkan dzikir kepada Allah.
Kalau kita tinjau apa yang disampaikan KH Sahal Mahfud, terdapat dua hikmah dilakukannya tahlil, yaitu, pertama, hamblumminannas, dalam rangka melaksanakan ibadah sosial; dan kedua, hablumminallah, dengan meningkatkan dzikir kepada Allah.
Mari kita lihat perspektif Ulama NU tentang dua hikmah tahlil tersebut.
Pertama, bahwa dalam tahlil terdapat aspek ibadah sosial, khususnya tahlil yang dilakukan secara berjamaah. Dalam tahlil, sesama muslil akan berkumpul sehingga tercipta hubungan silaturrahmi di antara mereka. Selain itu, dibagikannya berkat, sedekah berupa makanan atau bahan makanan, juga merupakan bagian dari ibadah sosial.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, yang artinya:
Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR Ahmad)
Menurut NU, sebagaimana disampaiakan H.M.Cholil Nafis, memberi jamuan yang biasa diadakan ketika ada orang meninggal, hukumnya boleh (mubah), dan menurut mayoritas ulama bahwa memberi jamuan itu termasuk ibadah yang terpuji dan dianjurkan. Sebab, jika dilihat dari segi jamuannya termasuk sedekah yang dianjurkan oleh Islam yang pahalanya dihadiahkan pada orang telah meninggal. Dan lebih dari itu, ada tujuan lain yang ada di balik jamuan tersebut, yaitu ikramud dla`if (menghormati tamu), bersabar menghadapi musibah dan tidak menampakkan rasa susah dan gelisah kepada orang lain.
Dalam hadits shahih yang lain disebutkan, yang artinya:
Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirmidzi)
Pembolehan sedekah untuk mayit juga dikuatkan dengan pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji.
Namun demikian, karena memberikan jamuan untuk tamu berupa berkat adalah hukumnya boleh, maka kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tradisi NU dalam memberi jamuan makan untuk tamu tidaklah sesuatu yang wajib. Orang yang tidak mampu secara ekonomi, semestinya tidak memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain, demikian dikatakan KH. Cholil Nafis.
Semua jamuan dan doa dalam tahlilan pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Warga NU percaya bahwa bersedekah untuk mayit, pahalanya akan sampai kepada mayit.
Dalam buku Risalah Amaliyah Nahdhiyin disebutkan dikutip sebuah hadis di mana Rasulullah pahala sedekah untuk mayit akan sampai.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW. “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (HR. Muttafaqu ‘alaih)
Perintah Rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akan pernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh rohnya.
Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda: 'Tatkala manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Dalil lain adalah hadits yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad as-Syarbashi, guru besar pada Universitas al-Azhar, dalam kitabnya, Yas`aluunaka fid Diini wal Hayaah, sebagaimana dikutip KH. Chilil Nafis, yang artinya sebagai berikut:
“Sungguh para ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala ibadah itu dapat sampai kepada orang yang sudah meninggal dunia, dengan hadist bahwa sesungguhnya ada salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang sudah mati, kami melakukan haji untuk mereka dan kami berdoa bagi mereka; apakah hal tersebut pahalanya dapat sampai kepada mereka? Rasulullah saw bersabda: Ya! Sungguh pahala dari ibadah itu benar-benar akan sampai kepada mereka dan sesungguhnya mereka itu benar-benar bergembira dengan kiriman pahala tersebut, sebagaimana salah seorang dari kamu sekalian bergembira dengan hadiah apabila hadiah tersebut dikirimkan kepadanya!"
Jadi, menurut NU, doa dan sedekah yang pahalanya diberikan kepada mayit akan diterima oleh Allah.
Argumentasi selanjutnya adalah, bahwa tahlil merupakan sarana hablumminallah, sebab doa-doa atau bacaan-bacaan dalam tahlil merupakan bacaan-bacaan dzikrullah yang mana apa yang dibaca tersebut sesuati dengan sunnah Nabi Muhamamd saw.
Bahwa ummat Islam diperintahkan, tidak hanya berdoa untuk orang yang masih hidup, tetapi juga untuk orang yang sudah meninggal.
Allah swt berfirman:
Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal. (QS. Muhammad: 19)
KH M. Irfan Ms pernah mengatakan bahwa tahlil dengan serangkaian bacaannya yang lebih akrab disebut dengan tahlilan tidak hanya berfungsi hanya untuk mendoakan sanak kerabat yang telah meninggal, akan tetapi lebih dari pada itu tahlil dengan serentetan bacaannya mulai dari surat Al-ikhlas, Shalawat, Istighfar, kalimat thayyibah dan seterusnya memiliki makna dan filosofi kehidupan manusia baik yang bertalian dengan i’tiqad Ahlus Sunnah wal jamaah, maupun gambaran prilaku manusia jika ingin memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.
Dari susunan bacaannya tahlilan terdiri dari dua unsur, yaitu syarat dan rukun. Bacaan-bacaan yang termasuk syarat tahlil adalah:
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 الم ذلك الكتاب
5. Surat al-Baqarah ayat 163 والهكم إله واحد
6. Surat al-Baqarah ayat 255 الله لاإله إلا هو الحي القيوم
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286 لله مافي السموات
8. Surat al-Ahzab ayat 33 إنما يريد الله
9. Surat al-Ahzab ayat 56 إن الله وملائكته يصلون على النبي
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih
Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan:
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan :واعف عنا واغفر لنا وارحمنا
2. Surat al-Hud ayat 73: ارحمنا ياأرحم الراحمين
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah لاإله إلاالله
6. Tasbih
Ayat-ayat serta bacaan-bacaan dzikir di atas memiliki keutamaannya masing-masing sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis Nabi saw. 
Seperti, misalnya sebuah hadis yang mengatakan bahwa “orang yang menyebut “la ilaha illa Allah” akan dikeluarkan dari neraka." Dalam rangkaian tahlil biasanya juga membaca surat Yasin secara berjamaah. Perbuatan ini sesuai dengan apa yang diperintahkan Nabi SAW dalam beberapa haditsnya yang secara terang-terangan memerintahkan supaya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal dunia.
Dari Mu’aqqol ibn Yassar r.a: "barang siapa membaca surat Yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantara kamu.” (H.R. Al-Baihaqi, dalam Jami’us Shogir: bab Syu’abul Iman)
Masih banyak hadis-hadis berkaitan dengan keutamaan surat-surat al-Qur’an serta bacaan-bacaan dzikir dalam serangkaian bacaan tahlil yang akan terlalu panjang jika semuanya ditulis di sini.
Kemudian, tentang dzikir yang dilakukan secara berjamaah, termasuk dalam acara tahlilan, juga masuk perkara ikhtilaf antara NU dan Muhammadiyah. Permasalah ini akan kita bahas pada bab tersendiri. Yang perlu dibahas lebih dalam disini, yang juga menjadi kontroversi  Ulama, adalah membaca surat al-Fatiah untuk dihadiahkan kepada mayit.
Dalam pembacaan tahlil, setelah jamaah bersama-sama melantunkan shahadat, sebelum dilanjutkan dengan bacaan-bacaan dan doa-doa yang lain, biasanya pemimpin tahlil akan menghadiahi fatihah yang ditujuakan kepada, Nabi Muhammad saw berserta keluarga, para sahabat, kepada orang-orang sholih, dan kepada orang yang meninggal. NU berpendapat bahwa membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal hukumnya adalah boleh.
KH A Nuril Huda, mengutip pendapat Ibnu 'Aqil, salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali yang mengatakan: "Disunnahkan menghadiahkan bacaan Al-Qur'an kepada Nabi SAW.”
Ibnu 'Abidin telah bertaka sebagaimana tersebut dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar:
"Ketika para ulama kita mengatakan boleh bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya untuk orang lain, maka termasuk di dalamnya hadiah kepada Rasulullah SAW. Karena beliau lebih berhak mendapatkan dari pada yang lain. Beliaulah yang telah menyelamatkan kita dari kesesatan. Berarti hadiah tersebut termasuk salah satu bentuk terima kasih kita kepadanya dan membalas budi baiknya.
Bukankah seorang yang kamil (tinggi derajatnya) memungkinkan untuk bertambah ketinggian derajat dan kesempurnaannya. Dalil sebagian orang yang melarang bahwa perbuatan ini adalah tahshilul hashil (percuma) karena semua amal umatnya otomatis masuk dalam tambahan amal Rasulullah, jawabannya adalah bahwa ini bukanlah masalah. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan dalam Al-Qur'an bahwa Ia bershalawat terhadap Nabi SAW kemudian Allah memerintahkan kita untuk bershalawat kepada Nabi dengan mengatakan:
اَللّهُمَّ صَلِّي عَلَى مُحَمَّدٍ
“Ya Allah berikanlah rahmat kemuliaan buat Muhammd. Wallahu A’lam.” (lihat dalam Raddul Muhtar 'Alad-Durral Mukhtar, jilid II, hlm. 244)
Bolehnya menghadiakan al-Fatikhah juga diperkuat dengan pendapat Ibnu Hajar al Haytami dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyyah. Juga, Al-Muhaddits Syekh Abdullah al-Ghumari dalam kitabnya Ar-Raddul Muhkam al-Matin, yang mengatakan: "Menurut saya boleh saja seseorang menghadiahkan bacaan Al-Qu'an atau yang lain kepada baginda Nabi SAW, meskipun beliau selalu mendapatkan pahala semua kebaikan yang dilakukan oleh umatnya, karena memang tidak ada yang melarang hal tersebut. Bahwa para sahabat tidak melakukannya, hal ini tidak menunjukkan bahwa itu dilarang.
Jika hadiah bacaan Al-Qur'an termasuk al-Fatihah diperbolehkan untuk Nabi, maka, menurut Ulama NU, menghadiahkan al-Fatihah untuk para wali dan orang-orang saleh yang jelas-jelas membutuhkan tambahnya ketinggian derajat dan kemuliaan juga dihukumi boleh.
Selain hadiah al-Fatihal, hal yang juga menjadi tradisi NU, dan tidak terdapat di Muhammadiyah adalah tradisi Haul. Masalah haul, barangkali tepat untuk sekalian kita angkat di sini, sebab dalam acara haul yang ditradisikan oleh NU dipastikan ada pembacaan tahlil.
Haul adalah peringatan kematian yang dialukan setahun sekali, biasanya diadakan untuk memperingati kematian para keluarga yang telah meninggal dunia atau para tokoh. Tradisi haul diadakan berdasarkan hadits Rasulullah SAW. Diriwayatkan:
Rasulullah berziarah ke makam Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan makam keluarga Baqi’. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim)
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Wakidi disebutkan bahwa:
Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmu’alaikum bimâ shabartum fani’ma uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan ats kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah).
Para ulama menyatakan, peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II, sebagaimana dikutip A. Khoirul Anam dalam artikelnya, menjelaskan, para Sahabat dan Ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang meratapi mayyit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul yang diadakan secara bersama-sama menjadi penting bagi umat Islam untuk bersilaturrahim satu sama-lain; berdoa sembari memantapkan diri untuk menyontoh segala teladan dari para pendahulu; juga menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan.
Demikianlah pendapat NU mengenai tahlil, yang intinya tahlil tidak bertentangan dengan syariat. Karena dengan seseorang mengikuti tahlilan, baik sendiri-sendiri, berjamaah, dalam acara haul atau tidak, maka mereka menjadi berdzikir dengan mengalunkan kalimah syahadah, juga membaca ayat suci al-Qur’an serta bacaan dzikir yang lain, yang semua itu tidak lain sebagai cara istighatsah kepada Allah agar doanya diterima untuk mayit.
Sumber: http://www.tintaguru.com/2012/01/fiqh-khilafiyah-nu-muhammadiyah-seputar_1302.html