Prolog
Ilmuwan
terkemuka Sinka mengatakan: siapa pun yang melayangkan pendangannya ke
arah langit pasti akan memejamkan kedua matanya dengan penuh kekaguman
dan katakjuban. Sebab ia melihat jutaan bintang yang bersinar terang,
mengamati pergerakannya di garis orbitnya, dan beralih memandangi
rasi-rasinya. Masing-masing bintang, planet, nebul, dan satelit adalah
dunia yang berdiri sendiri, dan jauh lebih besar daripada bumi beserta
segala yang ada diantaranya dan yang melingkupinya (Ahmad, 2006:42).
Bayangkan, jika kita sedang menengadah
ke langit di malam hari, kita melihat sinar bulan yang begitu indah.
Nah, sinar bulan yang kita lihat itu membutuhkan waktu untuk menempuh
jarak dari bulan ke bumi sekira 350.000 kilometer. Karena kecepatan
cahaya sekitar 300.000 meter per detik, maka cahaya bulan itu
membutuhkan waktu lebih dari satu detik untuk sampai ke bumi. Artinya,
ketika kita melihat bulan, sebenarnya bulan yang kita lihat itu bukanlah
bulan pada saat yang sama. Sebab, bulan membutuhkan waktu selama satu
detik untuk mencapai bumi. Paling tidak, bulan yang kita lihat saat ini
adalah bulan satu detik yang lalu.
Hal itu juga terjadi ketika kita
melihat matahari. Karena jarak Matahari – Bumi yang demikian jauhnya
sekitar 150 juta kilometer, maka kecepatan cahaya membutuhkan waktu 8
menit untuk sampai ke bumi. Artinya, jika waktu itu kita melihat
matahari, maka matahari yang kita lihat itu sebenarnya bukalah matahari
pada saat itu, melainkan matahari 8 menit yang lalu (Mustofa, 2006:71).
Kenaehan dan keterkaguman kita akan
semakin bertambah, manakala kita menyaksikan benda-benda langit yang
lain, bintang umpamanya. Malah ada bintang yang berjarak sangat jauh
dari bumi hingga memakan waktu 8 tahun cahaya dari bumi. Maka jika kita
melihat bintang itu, sebenarnya kita sedang menyaksikan bintang yang
usianya 8 tahun lalu. Mengagumkan.
Bahkan, dalam abad kekinian, sering
juga kita dengar istilah satelit atau sputnik, yaitu kendaraan ruang
angkasa yang diluncurkan menuju bulan dan planetnya di dalam kelompok
matahari. Persitiwa satelit atau sputnik itu merupakan hasil kecerdasan
otak manusia sekaligus merupakan alat terpenting dalam mencapai kemajuan
lahir ke arah pengetahuan dan teknologi.
Lalu, pada abad ke-7 atau sekitar 1400
tahun silam, kita juga mendengar suatu peristiwa maha hebat dari tanah
Arab. Persitiwa itu jauh lebih mengagumkan dari satelit ataupun sputik
dan benda-benda langit lainnya. Peristiwa itu dinamakan Isra Mi’raj Nabi
Muhammad saw. Muhammad tidak saja menembus ruang angkasa di sekitar
bulan, bahkan sudah meluncur ke ufuk yang tertinggi , melalui sistem
planet, menerobos ruang langit yang luas, berlanjut terus ke gugusan
Bintang Bima Sakti, meningkat kemudian mengarungi Semesta Alam hingga
sampai di ruang yang dibatasi oleh ruang yang tak terbatas. Kemudian
sampailah Rasulullah Muhammad saw pada Ruang yang Mutlak yang dinamakan
“Maha Ruang”. Inilah yang disebut “Dan dia Muhammad di ufuk yang
tertinggi” (Mudhary, 1996:21).
Peristiwa luar biasa ini kontan membuat
kontroversi di masyarakat. Ada masyarakat yang mencemooh; kebanyakan
dari mereka orang kafir. Mereka menggemboskan isu bahwa Muhammad telah
gila. Kelompok kedua adalah mereka yang ragu-ragu. Mereka terbawa oleh
suasana kontradiksi, mau percaya kok rasanya berita itu tidak masuk akal. Tapi ngga percaya,
kan Muhammad tidak pernah berbohong. Kelompok ketiga adalah mereka yang
begitu yakin akan ke-Rasulan Muhammad. Perjalanan yang kontroversial
ini pun bagi mereka justru meningkatkan kayakinannya bahwa beliau
benar-benar utusan Allah.
Lantas bagaimana dengan kita? Termasuk
golongan yang mana: tidak yakin, ragu-ragu, atau yakin? Alternatif dari
jawaban itu adalah bahwa kita harus yakin dengan di-Isra-kan dan
di-Mi’raj-kannya Muhammad, sekaligus meyakinkan kaum peragu bahwa
peristiwa ini pun masuk akal, logis, dan rasional. Sebab, bisa
dibuktikan secara empiris dalam ilmu pengetahuan modern
Bukankah manusia adalah salah satu magnum opus-nya
Tuhan dengan keistimewaan akalnya. Bukankah telah disinyalir Tuhan
bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menjelajah seantero jagat raya
dengan kekuasannya (QS.Ar Rahman:33). Bahkan, Al Khazin, Al Baidlawi,
dan An Nasai (Mudhary, 1996:21), memberi tafsiran bahwa arah kata sulthan atau
kekuasanannya ialah ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh kecerdasan
otak lahir dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan otak batin. Otak lahir
disebut juga indera badani atau jasmani, sedangkan otak batin disebut
indra rohani. Keduanya dikenal dengan sensus interior dan eksterior.
Hubungan antara tanda-tanda kebenaran
di dalam al Quran dan alam raya dipadukan melalui mukjizat Al Quran
dengan mukjizat alam raya yang menggambarkan kekuasaan Tuhan.
Masing-masing mengakui dan membenarkan keduanya menjadi pelajaran bagi
setiap orang yang mau mendengar. Bahkan Abbas Mahmud Aqqad (dikutip
Pasya, 2004:24), memberi penjelasan makna mukjizat ilmiah dalam al Quran
dan Hadits secara lebih mendalam yakni terdapat dua macam mukjizat yang
harus dibedakan: mukjizat yang harus dicari, dan mukjizat yang memang
tidak perlu dicari.
Sayangnya pembedaan antara kedua macam
mukjizat tersebut hampir tidak kita temukan pada mereka yang
pemikirannya hanya berhenti pada batas penafsiran ilmiah terhadap
fenomena alam. Tidak adanya pembedaan tersebut kadang menyebabkan
pencampuradukkan anatra mukjizat ilmiah (yang berarti bahwa Al Quran dan
Hadits telah terlebih dahulu memberitahukan kita tentang fakta atau
fenomena alam sebelum ditemukan oleh ilmu empiris) dan penafsiran Al
Quran secara ilmiah (yang berarti mengungkap makna-makan baru ayat Quran
atau Hadits sesuai kebenaran teori sains). Dengan kata lain, sains
menjadi perangkat untuk menafsirkan Al Quran dan Hadits, seperti halnya
ilmu bahasa dan asal usul fikih yang juga menjadi perangkat untuk
menafsirkan ayat-ayat Al Quran di bidang ilmu keagamaan. Nah.
Dengan demikian, perjalanan Isra Mi’raj
yang menjadi fenomena mukjizat Allah tersebut mampu dikaji secara
ilmiah. Pembuktian-pembuktian sains modern telah menampakan sebuah
paradigma bahwa perjalanan Muhammad menjumpai Tuhannya dengan menembus
batas-batas langit adalah benar. Sebab, perjalanan itu bisa ditafsir
ulang dengan sains kekinian, dan dibuktikan secara ilmiah.
Skenario Isra Mi’raj dan Tafsir Fisik
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ
لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي
بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ (١
“Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha yang telah diberkahi sekelilingnya oleh Allah agar Kami
perhatikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al
Isra:1).
Dalam ayat in, Allah sudah menjelaskan
skenario perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhammad. Sehingga dengan
berpatokan pada ayat ini, kita bisa memperoleh pemahaman yang sangat
memadai tentang mukjizat Isra dan Mi’raj tersebut.
Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11),
setidak-tidaknya ada delapan kata kunci yang menjadi catatan penting dan
menuntut pemahaman kita menembus batas-batas langit untuk menafsir
perjalanan kontroversial ini. Baiklah, jika kita mencoba untuk
menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi seperti ini:
Catatan pertama, terdapat pada akata Subhanallah,
Maha Suci Allah. Hal ini mengisyaratkan bahwa persitiwa ini sangat luar
biasa. Saking spesialnya kejadian ini, Allah sendiri memuji diri-Nya
dengan ucapanSubhanallah. Barangkali inilah salah satu bukti
bahwa Allah adalah Maha dari segala Maha. Maha tanpa batasan ruang,
waktu, bahkan massa. Sehingga lanjut Quraish Shihab (1992:338),
peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas ruang dan waktu.
Catatan kedua, adalah dalam kata asraa,
yang telah memperjalankan. Ini berarti bahwa perjalanan Isra Mi’raj
bukan atas kehendak Rasulullah, melainkan kehendak Allah. Dengan kata
lain, kita juga memperoleh ‘bocoran’ bahwa Rasul tidak akan sanggup
melakukan perjalanan itu atas kehendaknya sendiri. Saking dahsyatnya
perjalanan ini, jangankan manusia biasa, Rasul sekali pun tidak akan
bisa tanpa diperjalankan oleh Allah.
Oleh karena itu lanjut Agus (2006:15),
Allah lantas mengutus malaikat Jibril untuk membawa Nabi melanglang
‘ruang’ dan ‘waktu’ didalam alam semesta ciptaan Allah. Mengapa Jibril?
Sebab Jibril merupakan makhluk dari langit ke tujuh yang berbadan
cahaya. Dengan badan cahayanya itu, Jibril bisa membawa Rasulullah
melintasi dimensi-dimensi yang tak kasat mata.
Pembuktian menurut ilmu Fisika lanjut
Mudhary (1996;28), bahwa eter menjadi zat pembawa sekaligus pelantara
daya elektromagnetik. Eter adalah udara yang ringan sekali, lebih ringan
dari udara yang dihirup oleh manusia: O2. Dalam bahasa Arab disebut
dengan “Itsir”. Jika eter bergetar, niscaya membutuhkan pula zat pembawa
yang lebih halus lagi dari eter itu sendiri, agar getaran eter itu bisa
tersebar ke mana-mana.
Sedangkan menurut Ilmu Metafisika,
Rasul naik ke ruang angkasa melakukan perjalanan Mi’rajnya tentu
membutuhkan zat pembawa yang lebih halus dari jiwa atau rohaninya. Oleh
karena itu, makhluk hidup yang memiliki dua jasad: jasmani dan rohani,
maka diperlukan zat pembawa yang lebih halus dari rohani itu sendiri dan
mampu mengangkat jasmani Rasul sekaligus. Dan ternyata makhluk yang
sangat halus itu bernama Jibril.
Selain Jibril, perjalanan super
istimewa itu disertai juga oleh kendaraan spesial yang didesain Allah
dengan sangat spesial bernama Buraq. Ia adalah makhluk berbadan cahaya
yang berasal dari alam malakut yang dijadikan tunggangan selama
perjalanan tersebut. Buraq berasal dari kata Barqum yang
berarti kilat. Maka, ketika menunggang Buraq itu mereka bertiga melesat
dengan melebihi kecepatan cahaya sekitar 300.000 kilometer per detik
(Mustofa, 2006:15).
Jika seandainya kecepatan Buraq diambil
serendah-rendahnya setara dengan perbandingan kecepatan elektris saja:
300.000 kilometer per detik, maka jarak anatara Masjidil Haram di Mekkah
dengan Masjidil Aqsha di Palestina yang berjarak 1.500 kilometer,
paling tidak memakan waktu 1/200 detik. Padahal, Buraq adalah makhluk
hidup yang kecepatannya pun bisa melebihi kecepatan elektris tadi.
Pertanyaannya kemudian, bukankah
kecepatan cahaya adalah kecepatan paling tinggi yang telah dihasilkan
Fisika Modern? Bukankah kecepatan cahaya telah mendapat legalitas
berdasarkan keputusan kongres Internasional tentang Standar Ukuran yang
digelar di Paris tahun 1983: bahwa kecepatan cahaya berada dalam vakum
sebesar 299.792.458 meter per detik dibulatkan sekira 300.000 kilometer
per detik. Dan tentu saja, kecepatan cahaya berlaku sama bagi seluruh
gelombang spektrum dan mempersentasikan batas kecepatan dalam alam
fisika (Ahmad, 2006:168).
Tentu saja kecepatan setinggi itu tidak
bisa dilakukan oleh sembarang benda. Hanya sesuatu yang sangat ringan
saja yang bisa memiliki kecepatan yang bisa melebihi kecepatan cahaya.
Bahkan, saking ringannya, maka sesuatu itu harus tidak memiliki massa
sama sekali. Yang bisa melakukan kecepatan itu hanya photon saja, yaitu
kuantum-kuantum penyusun cahaya. Bahkan, electron sekali pun yang
bobotnya hamper nol sekalipun tidak bisa memiliki kecepatan setinggi
itu.
Sedangkan manusia sendiri terkonstruksi
dari satuan-satuan utama yang sangat kecil dinamakan sel. Jumlahnya
sekitar 390 milyar. Sel tubuh ini tidak sama, baik bentuk, besar, maupun
fungsinya. Sel-sel ini tidak terpisah satu sama lain, tetapi hidup
dalam organisasi yang harmonis (Pasya, 2004:250).
Jika dilihat dari penyusunnya, maka
berbagai macam sel itu tersusun dari molekul-molekul. Baik yang
sederhana maupun molekul yang kompleks. Mulai dari H2O, sampai pada
molekul asam amino atau proteir kompleks lainnya. Dan jika dicermati,
maka molekul itu juga tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil
disebut atom. Dan atom ini pun tersusun dari partikel-partikel sub
atomik seperti: proton, neutron, elektron, dan sebagainya.
Karena manusia memiliki bobot,
jangankan untuk dipercepat dengan kecepatan setingkat kecepatan cahaya.
Dengan percepatan beberapa kali gravitasi bumi (G) saja, sudah akan
mengalami kendala serius, bahkan bisa meninggal dunia.
Dalam ilustrasinya, Agus Mustofa
(2006:17) memberi gambaran tentang seorang pilot yang melakukan manuver
di angkasa. Ketika ia melakukan gerakan vertikal naik ke langit atau
manuver ‘jatuh’ ke bumi misalnya, saat itu badannya akan mengalami
tekanan alias beban yang sangat berat bergantung pada besarnya
percepatan yang ia lakukan.
Jika pilot bermanuver ke langit dengan
percepatan dua kali gravitasi bumi (2G), maka badannya akan mengalami
tekanan dua kali lipat dari biasanya. Jika bobot pilot dalam kondisi
normal 80 kg misalnya, maka pada saat melakukan manuver bobotnya akan
menjadi 160 kg. Bahkan jika percepatannya lebih tinggi lagi, rasa ‘nyuut’ di
otak akan semakin besar. Seperti orang yang jatuh bebas ke dalam sebuah
sumur yang dalam. Bisa-bisa seseorang akan mengalami ‘hilang
kesadaran’. Apalagi manuver pilot dengan kecepatan 5G, pilot yang tidak
terlatih bisa-bisa mengalami balck out alias semaput atau pingsan di angkasa.
Jika demikian, bukankah Muhammad juga
seorang manusia biasa yang memiliki struktur sama dengan pilot dalam
ilustrasi tadi ketika ia melakukan perjalanan Isra Mi’raj tersebut? Lalu
bagaimana jasmani Muhammad mampu menembus lapisan langit dengan bantuan
kecepatan cahaya ? Apakah Muhammad di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kan dengan
jasmani dan rohaninya sekaligus? Nah.
Salah satu ‘skenario rekonstruksi’
untuk mengatasi problem ini adalah teori Annihilasi. Teori ini
mengatakan bahwa setiap materi (zat) memiliki anti materi. Dan jika
materi dipertemukan atau direaksikan dengan anti materinya, maka kedua
partikel tersebut bakal lenyap berubah menjadi seberkas cahaya atau
sinar gama (Mustofa, 2006:20).
Hal ini telah dibuktikan di
laboratorium nuklir masih dalam buku yang sama (2006:20), bahwa jika ada
partikel proton dipertemukan dengan antiproton, atau elektron dengan
positron sebagai antielektronnya, maka kedua pasangan partikel tersebut
akan lenyap dan memunculkan dua buah sinar gama, dengan energi
masing-masing 0,11 MeV untuk pasangan elektron dan 938 MeVuntuk pasangan
partikel proton.
Sebaliknya, jika ada seberkas sinar
Gama yang memiliki energi sebesar itu dilewatkan medan inti atom, maka
tiba-tiba sinar tersebut lenyap berubah menjadi dua buah pasangan
partikel seperti di atas. Hal ini menunjukan bahwa materi memang bisa
berubah menjadi cahaya dengan cara tertentu, yang disebut sebagai reaksi
Annihilasi.
Nah, proses pengubahan materi menjadi
cahaya terjadi sesaat sebelum perjalanan Isra Mi’raj dimulai. Kejadian
ini ketika Rasul disucikan oleh Jibril di dekat sumur zam-zam. Bisa
dikatakan jika proses ini adalah proses operasi hati Muhammad dengan air
zam-zam.
Kenapa operasi hati? Bukan otak atau
jantung misalnya? Ya, sebab hati adalah pangkal dari seluruh aktifitas
badani. Bahkan Rasul mengatakan bahwa hati adalah pangkal dari segala
aktifitas badani. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh aktifitas
badannya. Begitu juga sebaliknya jika buruk hatinya, maka buruk juga
segala aktifitas badaniahnya.
Bahkan, resonansi dari hati yang baik
itulah kelembutan akan muncul. Bagaikan buluh perindu yang akan
menghasilkan suara merdu ketika ditiup. Kenapa? Karena hati yang lembut
bagaikan sebuah tabung resonansi yang bagus. Getarannya menghasilkan
frekuensi yang semakin lama semakin tinggi. Semakin lembut hati
seseorang, semakin tinggi frekuensinya. Pada frekuensi 10 pangkat 8,
maka akan menghasilkan gelombang radio. Dan jika frekuensinya lebih
tinggi misal 10 pangkat 14, maka akan menghasilkan gelombang cahaya
(Mustofa, 2008:153).
Itulah agaknya yang terjadi pada diri
Rasulullah saat ‘dioperasi’ oleh malaikat Jibril di dekat sumur zam-zam.
Jibril melakukan manipulasi terhadap sistem energi menjadi badan
cahaya. Dengan kesiapan ini, Muhammad siap untukdibawa melalui kawalan
Jibril dengan mengendarai Buraq menembus batas langit hingga akhirnya
berjumpa dengan Sang Pemilik Cahaya Abadi.
Catatan ketiga, terdapat dalam kata ‘abdihi,
Hamba-Nya. Hal ini berarti bahwa tidak semua orang secara sembarangan
mampu melakukan perjalanan Isra Mi’raj. Perjalanan fantastis yang hanya
bisa dilakukan oleh manusia yang sudah mencapai tingkatan ‘abdihi, hamba-Nya. Atau dalam istilah Quraish Shihab sebagai insan kamil.
Catatan keempat, dalam kata laila,
malam hari. Perjalanan spesial ini dilakukan pada malam hari dan bukan
siang hari. Kenapa? Inilah dia bukti kebesaran Tuhan Sang Maha Gagah
itu. Ia mengendalikan perjalanana Isra Mi’raj dengan apik dan sangat
canggih. Apalagi alasan logis mengenai hal itu, bahwa pada siang hari
radiasi sinar matahari demikian kuatnya, sehingga bisa membahayakan
badan Nabi Muhammad yang sebenarnya memang bukan badan cahaya. Badan
nabi yang sesungguhnya tentu saja adalah materi. Perubahan menjadi badan
cahaya itu bersifat sementara saja, sesuai kebutuhan untuk melakukan
perjalanan bersama Jibril. Dengan melakukannya pada malam hari, maka
Allah telah menghindarkan Nabi dari interferensi gelombang yang bakal
membahayakan badannya. Suasana malam memberikan kondisi yang baik buat
perjalanan itu (Mustofa, 2006:25).
Sebagai gambaran sederhana, ketika di
malam hari kita menyalakan radio, maka gelombang yang kita tangkap akan
jernih dan lebih mudah dari siang hari. Sebab gelombang radio tersebut
tidak mengalami gangguan terlalu besar yang saling bersinggungan dengan
gelombang lainnya. Begitulah gambaran sederhananya, sebab waktu malam
hari adalah waktu yang paling kondusif untuk perjalanan super spesial
demi kelancaran perjalanan ini.
Catatan kelima, terdapat dalam kata minal Masjidil haram ilal masjidil Aqsha,
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Perjalanan ini dimulai dari
mesjid ke mesjid, sebab mesjid adalah bangunan yang memiliki energi
positif. Disanalah orang-orang berusaha untuk menyucikan diri, mendekat,
bahkan merapat kepada Tuhannya. Masing-masing mesjid tersebut ibarat
tabung energi positif bagi perjalanan Nabi.
Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha dijadikan sebagai terminal pemberangkatan dan kedatangan. Hal ini mirip dengan tabung transmitter dan recieveri, yang
dipergunakan dalam proses perubahan badan Nabi Muhammad dari materi
menjadi cahaya jauh lebih mudah. Apalagi proses itu melalui ‘operasi’
lewat pelantara Jibril yang memang makhluk cahaya. Maka semuanya
berjalan dengan lancar sesuai kehendak Allah. Dia-lah yang berkehendak,
sedang Jibril yang melaksanakannya (Mustofa, 2006:28).
Catatan keenam, yakni dalam kata baaraknaa haulahu,
Kami berkahi sekelilingnya. Perjalanan ini adalah perjalanan yang tak
lazim. Oleh karena itu Allah mempersiapkan semua fasilitas dengan
keberkahan untuk menjaga kelancaran perjalanan sekali dalam sepanjang
sejarah manusia.
Nah, disinilah pentingnya Allah menjaga
lingkungan sekitar perjalanan Isra Mi’raj agar tidak terjadi hal-hal
yang merusak. Sebab, jika badan Rasul tiba-tiba berubah menjadi ‘badan
materi’ lagi saat melakukan perjalanan berkecepatan tinggi itu, maka
badannya bisa terurai menjadi partikel-partikel kecil sub atomik, tidak
beraturan lagi. Untuk itulah, keberkahan itu selalu ada; di setiap
tempat di setiap keadaan, bahkan tak mengenal tempat, waktu, dan keadaan
sekalipun.
Catatan ketujuh, terdapat dalam kata linuriyahu min ayaayaatina, tanda-tanda
kebesaran Allah. Ya, tepat sekali Isra Mi’raj adalah salah satu tanda
kebesaran Allah yang Maha Hebat. Dalam perjalanan itu Rasul menyaksikan
pemandangan yang tidak pernah beliau saksikan sebelumnya. Terutama
ketika melintasi dimensi-dimensi langit yang lebih tinggi pada saat
Mi’raj ke langit ke tujuh. Tanda kebesaran dan keagungan Allah ini
terhampar di jagat raya. Dan dengan tanda-tanda itu, seseorang mukmin
bisa melakukan ‘dzikir sekaligus pikir’ sehingga menghasilkan kedekatan
diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Dan kata kunci yang terakhir adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya
Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan
informasi kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan
Alalh ingin memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia
ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini
datang dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak
perlu ada keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).
Penjelasan Teori Eisntein (E= m.c2)
Relativitas, adalah teori yang saat ini
menjadi pusat ilmu pengetahuan. Teori ini terdiri atas Relativitas
Khusus dan Umum. Dua teori ini pun memiliki sejarah yang berbeda.
Relativitas Khusus diterima dalam beberapa tahun setelah
Albert Einstein mengumumkannya.
Dan ini terjadi di tengah derasnya peristiwa-peristiwa ilmiah, dan
karena ini menjawab pertanyaan yang membingungkan banyak ilmuwan. Teori
ini juga memiliki kegunaan dalam bidang-bidang utama riset yang
dilakukan saat itu, seperti fisika nuklir dan mekanika kwantum. Saat
ini, relativitas khusus menjadi alat sehari-hari bagi para ahli fisika
yang meneliti susunan materi dan gaya yang menyatukannya.
Relativitas Umum berlaku dalam skala
yang jauh lebih besar, pada bintang-bintang, galaksi, dan ruang angkasa
yang luas. Dibutuhkan waktu lebih lama untuk diterima, karena teori ini
tampaknya tidak memiliki kegunaan prakltis. Einstein menggunakannya
untuk menjelaskan kesederhanaan dan tatanan di balik alam semesta. Teori
ini baru dapat diuji tahun 1960-an setelah akselerator partikel raksasa
dan perlatan lain ditemukan menjadi lebih kuat.
Relativitas khusus meramalkan bahwa
ketika sebuah objek mendekati kecepatan cahaya, maka akan terjadi
hal-hal ganjil sebagai berikut:
1. Waktu melambat:
Ini disebut dilatasi waktu. Ini diamati tahun 1941 dalam ekperimen partikel atom berkecepatan tinggi yang disebut
muon.
Ini juga ditunjukkan tahun 1971, ketika jam yang amat sangat akurat,
diterbangkan dengan cepat keliling dunia di atas pesawat terbang jet.
Setelah dua hari,jam itu berkurang sepersekian detik dibandingkan dengan
jam yang sama di permukaan bumi, karena jam itu bergerak lebih cepat.
2. Objek mengecil.
Objek yang bergerak mendekati kecepatan
cahaya, akan mengalami pemendekan sesuai arah geraknya. Kalau roket
antariksa bisa bergerak dengan separoh
kecepatan cahaya, panjangnya akan sekitar enam per tujuh panjang aslinya di landasan luncur. Efek ini sudah diteliti sejak tahun 1890-an.
3. Massa objek bertambah.
Ini artinya objek akan bertambah berat.
Ini sudah diperlihatkan berulang kali dengan eksperimen partikel yang
bergerak dengan kecepatan tinggi seperti
elektron. Dari ide inilah Eistein mengembangkan rumus terkenalnya E = mc².
Mungkinkah manusia bisa bergerak
secepat cahaya? Seiring bertambahnya massa orang tersebut, maka gaya
yang dibutuhkan untuk membuatnya bergerak lebih cepat lagi juga terus
bertambah. Pada hampir kecepatan cahaya, massa akan begitu besar sampai
gaya yang dibutuhkan untuk memberikan dorongan ekstra itu akan sangat
besar sampai mustahil. Akibatnya kecepatan cahaya tidak akan benar-benar
tercapai.
Dalam
A Brief History of Time-nya, fisikawan Stephen Hawking dengan merendah
mengatakan seluruh model jagat raya kontemporer yang dibangun oleh para
fisikawan/astrofisikawan masa kini (termasuk dirinya, Roger Penrose,
Bekenstein, Carl Sagan dll) berdasarkan pada asumsi bahwa Relativitas
Umum dan Mekanika Kuantum itu benar. Dari statemen ini memang terbuka
peluang bahwa mungkin saja baik Relativitas Umum ataupun Mekanika
Kuantum itu “tidak benar”.
Namun jika kita merujuk pada
fakta-fakta yang ada di jagat raya ini, kita fokuskan ke Relativitas
Umum, ada sangat banyak fenomena yang menunjukkan kesahihan teori ini.
Tak perlu jauh-jauh melangkah ke lubang hitam alias black hole, fenomena
itu merentang mulai dari yang paling sederhana seperti langit malam
yang tetap gelap padahal kita tahu ada milyaran bintang yang selalu
bersinar di sana (paradoks Olber), presesi perihelion Merkurius (dimana
titik perihelion planet ini selalu bergeser dalam tiap revolusinya, yang
secara akumulatif mencapai 43 detik busur per abad), pembengkokan
lintasan cahaya dan gelombang radar di dekat Matahari seperti
ditunjukkan dalam Gerhana Matahari maupun pemuluran waktu tunda gema
radar dari oposisi Venus, hingga melimpahnya foton gelombang mikro
bersuhu amat rendah (2,725 K) yang tersebar homogen di segenap penjuru
jagat raya tanpa terkait dengan kumpulan galaksi maupun bintang-bintang,
foton yang kita kenal sebagai cosmic microwave background radiation.
Dengan bekal kesahihan Relativitas Umum
ini (dan juga kesahihan Mekanika Kuantum) kita sekarang bisa
memperkirakan dengan ketelitian tinggi bagaimana dinamika jagat raya
kita sejak ‘bayi’ hingga sekarang.
Relativitas Umum menunjukkan bahwa
jagat raya kita ini terdiri dari empat dimensi, dengan tiga dimensi
ruang dan satu dimensi waktu (dalam sumbu imajiner) yang saling
mempengaruhi sehingga membentuk entitas baru yang disebut ruang-waktu
(spacetime), dimana disini tak ada lagi waktu mutlak karena waktu
sepenuhnya bergantung kepada ruang, dan sifat ruang-waktu sepenuhnya
bergantung kepada distribusi massa yang ada didalamnya. Sehingga sifat
ruang-waktu di Bumi misalnya, jelas berbeda dengan ruang-waktu di
Matahari ataupun bintang maharaksasa merah Antares tetangga kita,
apalagi dengan bintang neutron dalam inti Crab Nebulae.
Hawking menggambarkan ruang-waktu dalam
jagat raya kita sebagai melengkung mirip gelembung balon, dengan
permukaan balon sebagai ruang-waktu dan disinilah tempat kedudukan
galaksi dan bintang-bintang. Seberapa besar dimensi jagat raya? Besarnya
~1025 meter (13,7 milyar tahun cahaya). Dalam tiap meter kubik jagat
raya terdapat 400 juta foton namun ‘hanya’ ada 0,4 nukleon (nukleon =
proton + neutron, penyusun atom-atom termasuk yang menyusun tubuh
manusia). Cahaya, demikian pula foton pada spektrum elektromagnetik
lainnya, hanya bisa bergerak pada permukaan gelembung ini meski tetap
saja bisa menemukan jarak terpendek untuk menempuh titik-titik yang
terpisah jauh (ini lebih mudah dipahami jika kita mempelajari
trigonometri segitiga bola).
Namun, Subhanallah, struktur yang luar
biasa besarnya ini tidaklah statis. Ia terus mengembang, dan jika
diproyeksikan jauh ke masa silam (tepatnya ke 13,7 milyar tahun silam),
kita mengetahui saat itu jagat raya hanyalah berbentuk titik berdimensi
~10-35 meter dengan densitas 1096 kg/m3 dan bersuhu 1032 K. Inilah titik
singularitas dentuman besar (alias big bang), awal lahirnya sang waktu.
Apa isinya? Campuran quark dan lepton, partikel-partikel elementer
penyusun nukleon, yang secara kasar bisa disebut “plasma” atau “asap”
(bandingkan dengan Q.S. Fushshilat : 11). Dari titik awal ini jagat raya
dengan cepat mengembang hingga pada 1 detik pertama saja dimensinya
telah 10 tahun cahaya dan quark-quark didalamnya telah mulai membentuk
nukleon. Dalam 3 – 20 menit pasca big bang, nukleon-nukleon mulai
bereaksi membentuk Detron (inti Deuterium), Helium dan sebagainya
sehingga komposisi jagat raya terdiri dari 75 % Hidrogen dan 24 %
Helium, yang masih bertahan hingga kini. Namun dibutuhkan waktu 300.000
tahun pasca big bang hingga jagat raya ini benar-benar dingin sehingga
proton bisa bergabung dengan elektron membentuk atom Hidrogen, demikian
pula detron bergabung dengan elektron membentuk atom Deuterium dan
sebagainya, tanpa terpecahkan kembali oleh foton (note : menariknya,
coba bandingkan angka 300.000 tahun ini dengan Q.S. al-Ma’aarij : 4 dan
Q.S. as-Sajdah : 4 secara bersama-sama).
Tafsir Ayat Isra’ Mi’raj
Ayat Isra’ Mi’raj yang sering kita dengar adalah :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ
لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي
بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
Artinya: “Maha Suci Allah,
yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil
Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya847 agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
1. Subhana =
diartikan Maha Suci. Tetapi yg pas bisa kita pakai arti Maha Penggerak
atau Maha Dinamis. Subhana bisa juga berasal dari kata ‘sabaha‘ artinya
berenang. Mashdar lainnya adalah Tasbih, yang berarti gerak yang
dinamis. Hakekat dari seluruh materi di alam semesta ini adalah
bergerak, ber-rotasi dan ber-revolusi. Salah tiga dari materi alam
semesta adalah Matahari, Bumi dan Rembulan. Rembulan atau Bulan
ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Bumi. Bumi ber-rotasi dan
ber-revolusi kepada Matahari. Matahari ber-rotasi dan ber-revolusi
kepada pusat Bimasakti. Dan begitu seterusnya…
Jadi peristiwa Isra’ wal Mi’raj adalah fenomena pergerakan dan sangat dinamis, bukan sekedar aktifitas statis.
2.
Asra =
memperjalankan. Kata ini bentuk transitif (muta’addiy) dari kata saraa =
berjalan. Di sini jelas bahwa Alloh Yang Maha Dinamis yang menentukan
gerak dan diamnya, atau berjalan dan berhentinya hamba-Nya yakni
Rasulullah SAW.
Jadi peristiwa Isr’a wal Mi’raj merupakan kehendak aktif Alloh SWT.
Berapa jauhnya perjalanan?
Secara manusiawi, jarak tempuh Isra’ adalah :
Mekkah – Palestina, sekitar 1.200 km.
Selanjutnya, perjalanan Mi’raj seperti dijelaskan dalam surat An-Najm
yang terbagi dalam dua tahap:
tahap 1: Gelombang ke Partikel
Ayat 1-11 surat An-Najm, menjelaskan
perihal transfer dimensi dari Jibril kepada Rasululloh SAW yakni
transfer dimensi cahaya kepada dimensi suara.
tahap 2: Partikel ke Geombang
Selanjutnya ayat ke 12 – 17 surat
An-Najm, adalah menjabarkan praktikum Rasululloh SAW untuk melakukan
transfer balik dari dimensi suara atau partikel menuju ke dimensi cah
aya atau ‘gelombang elektromagnetik’.
Dan perjalanan saat itu tidak
mengenal lagi hukum fisika. Dimensi waktu telah terlampuai. Jangkauan
Rasululloh SAW seperti dikupas Pak Agus Musthofa dalam buku2nya,
pandangan Rasululloh mampu mencakup semua dimensi di bawah layer
malaikat.
Kalau Mi’raj, maka secara masnusiawi Rasul SAW akan lepas dari Bumi. Dan lebar Bumi sekitar 12.700 km;
Lalu, kita manusia akan membayangkan, Rasul SAW lepas dari Tata Surya kita. Dan lebarnya 9 milyar km.
Berikutnya lepas Tata Surya masih harus lepas dari Galaksi kita yang panjangnya;
3. ‘Abdihi = hamba-Nya. Hamba adalah
lemah, hamba adalah tidak berdaya. Di sini jelas, bahwa isra’ wal Mi’raj
itu bukan kemauan Rasulullah SAW, karena beliau sebagai hamba yang
hanya bergantung atas kehendak Alloh SWT dalam melakukan perjalannya.
Jadi dalam Isr’a wal Mi’raj, Rasululloh SAW tidak berjalan sendiri, tetapi di’bantu’ Alloh dalam melakukan perjalanan itu.
4. Lailan = Malam hari. Malam adalah
simbol kebalikan dari siang. Dua istilah yang sangat erat dengan konsep
waktu. Mengapa harus malam.?
Malam memiliki keheningan, malam
menyibakkan kegelapan, yang merupakan arah dari pandangan mata yang
tidak pernah akan berujung. Dan perjalanan Isra’ wal Mi’raj adalah
perjalanan Rasul SAW yang tidak mampu dijejaki ujung finalnya. Alam
semesta nan luas …
5. Masjidil Haram-Masjidil Aqsha = Dua
starting point yang diberkahi. Dua lokasi yang dipilih Alloh dengan
titik koordinat yang terpisah antara batas utara pergerakan tahunan
Matahari. Dua lokasi sebagai kiblat pertama dan terakhir. Dan inilah
tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Kalau kita mau berfikir.
Epilog
Begitu dahsyat
peristiwa Isra Mi’raj hingga meninggalkan kesan mendalam untuk seluruh
umat manusia hingga kini. Namun, dari tafsiran yang telah dipaparkan di
atas, sekira dengan obat sebagai penawar penyakit, begitu pun hikmah
perjalanan ini sebagai ikhtiar pembangun jiwa-jiwa yang sedang
kebingungan, atau malah ‘mati’ dalam kebingungan.
Siapa pun ia jika mengira akal adalah
Tuhan yang patut disembah, sains adalah Maha Guru tertinggi yang patut
dipuji, maka ia bagai berada dalam dimensi yang terus memenjaranya untuk
tidak menemukan kebenaran hakiki. Sebab, Kant pernah berkata (dalam
avant propos Capra, 2000:xxii), bahwa ia secara meyakinkan dan sudah
membuktikan jika nalar teoritis sama sekali tak mampu menangkap
kebenaran metafisika. Dengan kata lain, sains tak bisa membuktikan Tuhan
ada, juga tidak bisa membuktikan Tuhan tidak ada. Dengan ini, Kant
sebenarnya hendak membatasi ekspansi sains, menyisakan ruang bagi iman.
Banyak tafsiran yang diutarakan para
ulama terkait berita kontroversial ini. Namun, perlu menjadi catatan
bahwa terlepas dari semua tafsiran: aqidah, sains, bahkan tasawuf
sekalipun, ia ‘menggenjot’ penyemangat jiwa. Sebab Muhammad mampu
‘berlari’ menjadi hamba yang Insan Kamil untuk melesat menuju
Tuhannya. Ia membuka diri untuk disesuaikan dan direkonstruksi demi
menyempurnakan panggilan spesial Tuhannya.
Bukan saja Muhammad yang bisa ‘berlari
menuju Tuhannya. Anda, saudara, dan kita semua bisa ‘berlari’ mengejar
hakikat kecintaan kepada Tuhan. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan
pergi menuju tuhan dengan cara berjalan lanjut Kang Jalal (2008:69).
Kita harus ‘berlari’ sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir.
‘Berlari’ dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada yang
satu, Allah. Sebab, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan
mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Dia
akan menyambutnya sambil berlari” (HR. Ahmad dan Thabrani). Jika begitu,
bagaimana jika kita menuju-Nya dengan ‘berlari’, seberapa dekatkah Ia
kepada hamba-Nya.
Kenyataan ini menuntun kita pada adanya
evolusi dari hal yang sifatnya material menuju hal yang immaterial.
Membimbing kita untuk Mi’raj atau pendakian menuju tahap demi tahap
hingga sampai ke hakikat kecintaan kepada-Nya. Keberadaan hierarki dan
proses pendakiannya yang merupakan ajaran tarekat yang dicontohkan
Plotinus sebagai tokoh madzhab neoplatonisme (Purwanto, 2008:383).
Menurutnya semua berasal dari Yang Satu atau to Hen dan semuanya
berhasrat untuk kembali kepada Yang Satu. Manusia dapat melaksanakan
pengembalian kepada Yang Satu dengan upaya menempuh tahap demi tahap,
hingga akhirnya mampu ‘berlari’ menembus penyatuan dengan Yang Satu,
atau dalam istilah Plotinus disebut ekstasis.
Overall, maka bersegeralah
‘berlari’ untuk Mi’raj menuju Tuhan. Sebab Ia telah berfirman: “Oleh
karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah” (QS.Al
dzariyat:50). Mi’raj untuk menembus batas-batas kekotoran sifat manusia,
menjemput Cahaya Ke-Tuhanan yang hanya diberikan bagi mereka yang
spesial. Mereka yang berhasil menjadi pengikut Muhammad yang tidah hanya
mengagumi dalam decak kagum tanpa penghayatan, tetapi penghayatan dalam
pengamalan yang ikhlas.
Perjalanan yang ditempuh dari pecinta
menuju yang dicintainya, hingga keadaan ini berada dalam vakum
penyatuan. Cerminan penyatuan itu tertuang dalam sebuah hadits qudsi:
“Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan
melakukan ibadah-ibadah nawafil, hingga Aku mencintainya. Kalau Aku
telah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia
mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan
menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya
yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan
mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan
melindungi dirinya” (HR. Bukhari).
bermanfaat bagi Anda.